CB, JAKARTA -- Ada yang berbeda pada Sidang
Majelis Umum PBB, Senin (26/9) lalu. Seorang diplomat junior Indonesia
menjawab tudingan enam pemimpin negara Pasifik soal pelanggaran hak
asasi manusia dengan berani dan tegas.
Delegasi dari Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga, semua menyatakan keprihatinan atas provinsi yang terletak di bagian barat Pulau Papua Nugini dan merupakan rumah bagi sebagian besar populasi warga Melanesia.
Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare mengatakan, dugaan pelanggaran hak asasi manusia di provinsi Papua Barat terkait dengan dorongan untuk memerdekakan diri. "Kekerasan HAM di Papua Barat dan upaya untuk menentukan diri sendiri di Papua Barat adalah dua sisi dari koin,” katanya.
Second Secretary Urusan Ekonomi di Misi Permanen Republik Indonesia untuk PBB di New York, Nara Masista Rakhmatia (34 tahun) menjawab dengan mengatakan tudingan itu jelas mencerminkan ketidakpahaman mereka terhadap sejarah, situasi saat ini dan perkembangan progresif di Indonesia, termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat, serta manuver politik yang tidak bersahabat dan retoris.
"Kami menolak mentah-mentah sindiran terus-menerus dalam pernyataan mereka," kata Nara tak gentar.
Dia menambahkan, pernyataan bernuansa politik mereka itu dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di provinsi tersebut yang begitu bersemangat terlibat mengganggu ketertiban umum dan melakukan serangan teroris bersenjata terhadap warga sipil dan petugas keamanan.
"Pernyataan negara-negara tersebut benar-benar melanggar tujuan dan maksud piagam PBB dan melanggar prinsip hukum internasional tentang relasi persahabatan antarnegara serta kedaulatan dan integritas teritori suatu negara," ujarnya.
Delegasi dari Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga, semua menyatakan keprihatinan atas provinsi yang terletak di bagian barat Pulau Papua Nugini dan merupakan rumah bagi sebagian besar populasi warga Melanesia.
Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare mengatakan, dugaan pelanggaran hak asasi manusia di provinsi Papua Barat terkait dengan dorongan untuk memerdekakan diri. "Kekerasan HAM di Papua Barat dan upaya untuk menentukan diri sendiri di Papua Barat adalah dua sisi dari koin,” katanya.
Second Secretary Urusan Ekonomi di Misi Permanen Republik Indonesia untuk PBB di New York, Nara Masista Rakhmatia (34 tahun) menjawab dengan mengatakan tudingan itu jelas mencerminkan ketidakpahaman mereka terhadap sejarah, situasi saat ini dan perkembangan progresif di Indonesia, termasuk di Provinsi Papua dan Papua Barat, serta manuver politik yang tidak bersahabat dan retoris.
"Kami menolak mentah-mentah sindiran terus-menerus dalam pernyataan mereka," kata Nara tak gentar.
Dia menambahkan, pernyataan bernuansa politik mereka itu dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis di provinsi tersebut yang begitu bersemangat terlibat mengganggu ketertiban umum dan melakukan serangan teroris bersenjata terhadap warga sipil dan petugas keamanan.
"Pernyataan negara-negara tersebut benar-benar melanggar tujuan dan maksud piagam PBB dan melanggar prinsip hukum internasional tentang relasi persahabatan antarnegara serta kedaulatan dan integritas teritori suatu negara," ujarnya.
Dia menyesalkan tindakan negara Pasifik yang menyalahgunakan sidang Majelis Umum PBB untuk mengajukan agenda domestik mereka, dan bagi beberapa negara untuk mengalihkan perhatian dari persoalan politik dan sosial di negara mereka.
Menurut Nara, sikap negara-negara itu meremehkan piagam PBB dan membahayakan kredibilitas majelis. Nara juga menyatakan komitmen Indonesia terhadap HAM tidak perlu dipertanyakan.
Dia menjabarkan Indonesia adalah anggota pendiri Dewan HAM PBB. Indonesia sudah menjadi anggota dewan tersebut selama tiga periode sebelumnya. Saat Ini Indonesia menjadi anggota keempat kalinya.
Indonesia adalah penggagas komisi HAM antarpemerintah ASEAN dan komisi independen permanen OIC. Indonesia sudah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama HAM.
"Semuanya terintegrasi dalam sistem hukum nasional kami, dibanding hanya empat oleh Kepulauan Solomon dan lima oleh Vanuatu," kata Nara, suaranya tenang dan tegas.
Dengan bahasa Inggris yang fasih, dia mengatakan Indonesia ada di antara segelintir negara yang memiliki Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia juga memiliki Komnas HAM yang aktif dan kuat sejak 1993, masyarakat sipil yang aktif dan media yang bebas
Nara menuturkan Indonesia adalah negara demokrasi yang dinamis. "Hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa," ujarnya.
Dalam penutup pernyataannya, ia mengutip suatu pepatah di kawasan Asia Pasifik. "Ketika seseorang menunjukkan jari telunjuknya pada yang lain, jempolnya secara otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri. Terima kasih," kata Nara sambil mengacungkan tangannya.
Credit REPUBLIKA.CO.ID