Ilustrasi pertempuran di Suriah (Reuters/Hosam Katan)
Pemerintah AS hingga kini masih mengupayakan perdamaian melalui jalur perundingan. Namun, perundingan terus menemui jalan buntu, utamanya setelah gempuran serangan udara yang menghantam 18 dari 31 truk bantuan yang tengah konvoi pekan lalu untuk mencapai wilayah yang terkepung di Aleppo. AS menuding Rusia berada di balik serangan itu.
Menurut pejabat AS yang tak mau identitasnya dipublikasikan, salah satu konsekuensi dari kegagalan diplomasi adalah meningkatnya kemungkinan negara-negara Teluk Arab atau Turki meningkatkan pasokan senjata mereka ke kelompok pemberontak, termasuk di antaranya rudal panggul anti-pesawat.
Sumber itu menyatakan kepada Reuters bahwa Washington berupaya agar rudal panggung untuk sistem pertahanan udara, atau disebut juga MANPADS, tidak digunakan dalam perang Suriah.
Meski demikian, aksi kekerasan yang terus menerus dikhawatirkan akan membuat negara-negara Teluk dan Turki akan mempergunakan kesempatan ini untuk menjual MANPADS ke sejumlah kelompok oposisi.
"Saudi selalu berpikir bahwa cara agar Rusia mundur sama seperti konflik di Afghanistan sekitar 30 tahun lalu, yaitu dengan mengirimkan MANPADS ke para mujahidin," kata pejabat itu, dikutip dari Reuters.
"Sejauh ini, kami mampu meyakinkan mereka bahwa risiko [menggunakan MANPADS] jauh lebih berbahaya saat ini karena kami tidak mendesak Soviet untuk mundur, namun seorang pemimpin Rusia yang berambisi membangun kembali kekuatan Rusia dan tak gentar sama sekali," kata pejabat itu, Senin (26/9) mengacu kepada Presiden Rusia, Vlamidir Putin.
Ketika ditanya apakah Amerika Serikat bersedia melakukan apa pun di luar negosiasi untuk mencoba untuk menghentikan aksi kekerasan, juru bicara Departemen Luar Negeri Mark Toner mengaku tidak mempersiapkan cara apapun, namun menegaskan bahwa Washington tak ingin ada lebih banyak senjata dalam konflik Suriah.
"Itu hanya menimbulkan eskalasi ketegangan dari konflik yang sudah memburuk," ujar Toner.
Credit CNN Indonesia