Rabu, 10 April 2019

Kekaisaran Jepang Krisis Pewaris Takhta Laki-laki





Kaisar Jepang Akihito, disampingi oleh Permaisuri Michiko, menyampaikan pidato kepada para warga yang berkumpul di Istana Kekaisaran untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-85 di Tokyo, Jepang, 23 Desember 2018. [REUTERS / Issei Kato]
Kaisar Jepang Akihito, disampingi oleh Permaisuri Michiko, menyampaikan pidato kepada para warga yang berkumpul di Istana Kekaisaran untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-85 di Tokyo, Jepang, 23 Desember 2018. [REUTERS / Issei Kato]

CB, Jakarta - Turun takhta-nya Kaisar Jepang Akihito pada Mei mendatang memunculkan polemik baru, yakni tidak adanya pewaris laki-laki.
Silsilah Kekaisaran Jepang berdasarkan keturunan laki-laki saat ini hanya menyisakan Pangeran Hishashito, putra sang Putra Mahkota Naruhito, yang masih berusia 12 tahun.


Sejak tahun 1947, pewaris takhta Jepang kebanyakan adalah perempuan. Tapi, di tahun yang sama, pewaris takhta perempuan tidak diatur dalam pedoman kekaisaran.
Tidak dipungkiri dari masalah ini, nantinya ada sebuah undang-undang baru yang memungkinkan seorang permaisuri diizinkan untuk memimpin.
Masyarakat Jepang tidak keberatan jika seorang permaisuri memimpin Jepang di masa mendatang, walaupun ini masih sangat lama.


Dalam jajak pendapat yang digelar surat kabar lokal, pada Oktober-November tahun lalu, sebanyak 67 persen suara menginginkan adanya perubahan (amendemen) aturan mengenai pewaris takhta kekaisaran.
"Saya sangat menyayangkan ini. Hanya karena Putri Aiko seorang perempuan, mengapa kita tidak mengadopsi sistem seperti Kerajaan Inggris yang dipimpin Ratu Elizabeth II?" ujar Mizuho, warga Tokyo berusia 30 tahun.

Dari kiri: Putri Mahkota Jepang Masako, Putra Mahkota Naruhito, Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko menghadiri penampilan publik untuk perayaan Tahun Baru di Istana Kekaisaran di Tokyo, Jepang, 2 Januari 2017. REUTERS/Kim Kyung-Hoon
Aturan saat ini menyebut bahwa putri-putri Kekaisaran Jepang akan kehilangan gelarnya jika menikahi non bangsawan, seperti Putri Mako, cucu Akihito yang menikahi warga biasa.
Usulan pewaris perempuan ini diyakini dari sebuah legenda berusia 250 tahun, yang berkisah tentang permaisuri pertama Jepang, Gosarumakachi yang diyakini sebagai utusan Dewi Matahari, Amaterasu.

Dengan pertimbangan tersebut, parlemen diminta untuk melakukan amandemen setelah penobatan Kaisar Naruhito 1 Mei mendatang, dengan catatan perumusan tersebut hanya dihadiri oleh legislator laki-laki.
Yuji Otabe, dosen Sejarah Jepang dari Universitas Shizouka menanggapi isu tersebut dengan mengatakan "mereka (kekaisaran) tidak ingin merasakan tekanan yang sama".

Keraguan Jepang terhadap kepemimpinan permaisuri bermula saat Putri Masako yang saat itu masih bertugas sebagai diplomat sakit berkepanjangan akibat tidak beradaptasi dengan baik dalam tradisi kekaisaran yang berpengaruh terhadap rendahnya keturunan laki-laki.
Peneliti keluarga kaisar, Hideo Tsuboi, mengatakan Kekaisaran Jepang dan Kerajaan Inggris sangatlah berbeda, sehingga menyebabkan sang permaisuri depresi.
"Kerajaan Inggris membolehkan keturunan perempuan memimpin takhta kerajaan, mungkin inilah yang membuat sang permaisuri tertekan," ujar peneliti Kekaisaran Jepang tersebut.




Credit  tempo.co