Kamis, 25 Januari 2018

Trump Peringatkan Erdogan: Pasukan Turki dan AS Jangan Bentrok


Trump Peringatkan Erdogan: Pasukan Turki dan AS Jangan Bentrok
Presiden Amerika Serikat Donald John Trump saat menyambut Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Gedung Putih, 16 Mei 2017. Foto/REUTERS/Joshua Roberts


WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendesak  Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk membatasi operasi militernya di Suriah utara. Trump juga memperingatkan Erdogan agar tidak membuat pasukan Washington dan Ankara bentrok.

Operasi udara dan darat Turki di wilayah Afrin, Suriah utara, kini memasuki hari kelima. Operasi militer Ankara itu menargetkan petempur YPG Kurdi yang didukung AS. Bagi Ankara, pasukan YPG Kurdi adalah teroris.

Konflik itu cukup rumit. Pasukan YPG Kurdi merupakan sekutu AS dalam memerangi ISIS. Namun, pasukan Turki juga sekutu AS dalam Aliansi Pertahanan Atlantik Utara atau NATO.

Erdogan sendiri telah menegaskan bahwa pihaknya akan memperpanjang operasi militer Turki ke Manbij, sebuah daerah yang berjarak 100km sebelah timur Afrin. Operasi militer Turki di Manbij berisiko mengancam pasukan AS yang memang beroperasi di wilayah itu.

Berbicara dengan Erdogan melalui telepon, Trump menjadi pejabat terakhir AS yang mencoba mengendalikan serangan ofensif Ankara di Suriah utara.

”Dia mendesak Turki untuk mengurangi, membatasi tindakan militernya, dan menghindari korban sipil,”  kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan mengacu pada hasil pembicaraan telepon kedua pemimpin tersebut.

”Dia mendesak Turki untuk berhati-hati dan menghindari tindakan yang mungkin menimbulkan risiko konflik antara pasukan Turki dan Amerika,” lanjut Gedung Putih, seperti dikutip Reuters, Kamis (25/1/2018).

AS memiliki sekitar 2.000 pasukan pasukan khusus di Suriah yang dikerahkan pada bulan Maret lalu.

Sementara itu, Kantor Presiden Turki mengatakan bahwa Erdogan telah menyampaikan pesan kuat kepada Trump. Isinya, AS harus menghentikan dukungan senjata kepada milisi YPG Kurdi Suriah.

Operasi militer Turki telah membuka front baru dalam perang saudara Suriah yang multi-sisi dan telah berjalan tujuh tahun. Operasi itu juga membuat misi AS di Suriah semakin rumit.

AS sejatinya berharap untuk menggunakan kontrol YPG terhadap wilayah tersebut guna memberikannya kekuatan diplomatik yang dibutuhkannya untuk menghidupkan kembali perundingan yang dipimpin PBB di Jenewa.

AS merasa perundingan itu diperlukan untuk mengakhiri perang saudara di Suriah dan pada akhirnya akan menyebabkan penggulingan Presiden Bashar al-Assad.



Credit  sindonews.com



Erdogan: Turki Tak Punya Niat untuk Duduki Suriah


Erdogan: Turki Tak Punya Niat untuk Duduki Suriah
Presiden Turki, Tayyip Erdogan mengatakan, pihaknya tidak pernah memiliki niat untuk menduduki wilayah Suriah. Foto/AA


ANKARA - Presiden Turki, Tayyip Erdogan mengatakan, pihaknya tidak pernah memiliki niat untuk menduduki wilayah Suriah. Operasi militer yang dilakukan Turki di Suriah, lanjut Erdogan, semata-mata untuk melindungi wilayah Turki.

"Perhatian, kami adalah pembentukan sebuah hukum, untuk mencari keadilan, bukan tanah," kata Erdogan saat melakukan pertemuan dengan sejumlah pejabat Turki di Ankara, seperti dilansir Anadolu Agency pada Rabu (24/1).

"Turki pertama-tama akan menghancurkan para teroris, dan setelah Operasi Cabang Zaitun berakhir, 3,5 juta pengungsi Suriah di Turki dapat kembali ke rumah mereka dengan selamat," sambungnya.

Erdogan kemudian mengatakan bahwa 268 teroris telah dinetralkan, sementara tentara Turki dan pasukan pembebasan Suriah FSA telah menderita kerugian yang tidak terlalu besar, di mana delapan orang dari sisi mereka tewas dalam empat hari terakhir.

Militer umumnya menggunakan istilah "menetralkan" untuk menandakan bahwa target telah berhasil dibunuh.

"Turki mencoba untuk mengalahkan sebuah organisasi (teroris) yang memposting foto anak-anak berusia 13 atau 15 tahun dan wanita tua yang tidak berdosa dengan senjata ditaruh di tangan mereka dan memaksa mereka yang membutuhkan roti untuk membayar sejumlah uang," tukasnya.





Credit  sindonews.com