Dalam
delapan hari terkahir, tiga serangan hebat kelompok ekstrimis
mengguncang Kabul. Lebih 130 tewas dan lebih 200 lainnya luka-luka.
Serangan pertama terjadi di Hotel Continental pada hari Sabtu, 21
Januari. Seminggu kemudian, Sabtu 28 Januari, terjadi serangan bom bunuh
diri dekat Kementerian Dalam Negeri. Dua hari kemudian, Senin 29
Januari, terjadi serangan hebat ke akademi militer.
Di samping tiga serangan besar itu, masih ada serangan-serangan lain, misalnya ke kantor organisasi bantuan Save The Children di Jalalabad dan serangan militan ke selatan Kandahar. Menurut keterangan resmi, tujuh prang tewas dalam serangan itu.
Pengamat keamanan Afghanistan, eks Brigjen Mohammad Arif mengatakan kepada DW, grelombang serangan teror ini adalah jawaban atas strategi baru pasukan AS di negara itu, antara lain di provinsi Helmand, Nagarhar dan Kundus.
"Biasanya Taliban memulai rangkaian serangannya setelah musim dingin, tapi sekarang kelihatannya mereka mempercepat serangan itu, sebagai reaksi atas strategi baru militer AS. Mereka ingin menunjukkan, bahwa mereka belum terkalahkan," kata Mohammad Arif.
Trump menegaskan, ia akan menambah jumlah pasukan yang dikerahkan ke Afghanistan untuk membantu aparat keamanan lokal. Dia juga menyatakan, pasukan AS akan tinggal di negara itu selama dibutuhkan. Pada saat yang sama, Trump menyalahkan Pakistan yang dinilainya masih mendukung Taliban, sehingga situasi keamanan di Afghanistan tak kunjung membaik.
Untuk menekan Pakistan, Presiden Trump mengumumkan pembekuan bantuan dana AS untuk Pakistan, sampai Pakistan menutup kawasan-kawasan yang kini jadi tempat berlinduing para militan.
Birtsch juga mempertanyakan efektivitas tekanan AS pada Pakistan. Karena dengan cara itu, tidak terjadi konsultasi yang setara antara AS, Afghanistan dan Pakistan. Untuk waktu dekat, tidak ada perspektif baik bagi Afghanistan, kata Britsch.
Di samping tiga serangan besar itu, masih ada serangan-serangan lain, misalnya ke kantor organisasi bantuan Save The Children di Jalalabad dan serangan militan ke selatan Kandahar. Menurut keterangan resmi, tujuh prang tewas dalam serangan itu.
Pengamat keamanan Afghanistan, eks Brigjen Mohammad Arif mengatakan kepada DW, grelombang serangan teror ini adalah jawaban atas strategi baru pasukan AS di negara itu, antara lain di provinsi Helmand, Nagarhar dan Kundus.
"Biasanya Taliban memulai rangkaian serangannya setelah musim dingin, tapi sekarang kelihatannya mereka mempercepat serangan itu, sebagai reaksi atas strategi baru militer AS. Mereka ingin menunjukkan, bahwa mereka belum terkalahkan," kata Mohammad Arif.
Tekanan AS pada Pakistan tak membawa hasil?
AS dan militer Afghanistan memang sudah lebih dulu melancarkan serangannya ke kubu-kubu militan, tanpa menunggu musim dingin berlalu. Ini adalah strategi militer baru yang dicanangkan Presiden Donald Trump pada Agustus 2017.Trump menegaskan, ia akan menambah jumlah pasukan yang dikerahkan ke Afghanistan untuk membantu aparat keamanan lokal. Dia juga menyatakan, pasukan AS akan tinggal di negara itu selama dibutuhkan. Pada saat yang sama, Trump menyalahkan Pakistan yang dinilainya masih mendukung Taliban, sehingga situasi keamanan di Afghanistan tak kunjung membaik.
Untuk menekan Pakistan, Presiden Trump mengumumkan pembekuan bantuan dana AS untuk Pakistan, sampai Pakistan menutup kawasan-kawasan yang kini jadi tempat berlinduing para militan.
Harapan untuk perdamaian makin sirna
Pengamat Afghanistan Nicole Birtsch daru yayasan penelitian politik Stiftung Wissenschaft und Politik (SWP) menyatakan, serangan teror akhir-akhir ini merupakan reaksi terhadap pemboman dan operasi militer yang sedang dilancarkan militer AS bersama tentara Afghanistan.Birtsch juga mempertanyakan efektivitas tekanan AS pada Pakistan. Karena dengan cara itu, tidak terjadi konsultasi yang setara antara AS, Afghanistan dan Pakistan. Untuk waktu dekat, tidak ada perspektif baik bagi Afghanistan, kata Britsch.
Dia memperkirakan, pada minggu-minggu
mendatang, spiral kekerasan masih akan terus berlanjut. "Saya khawatir,
arena banyaknya aksi kekerasan ini banyak orang, terutama di Kabul, yang
sudah mengubur harapan tentang masa depan yang stabil. Mereka sekarang
hanya berusaha bertahan untuk terus hidup.”
Credit sindonews.com