Senin, 14 Desember 2015

Kesepakatan Paris Dikritik


 
World Wildlife Perubahan iklim.

PARIS, CB - Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris telah berakhir dengan lahirnya kesepakatan baru yang disebut Kesepakatan Paris untuk penanganan perubahan iklim global. Walau konvensi yang harusnya berakhir tanggal 11 Desember 2015 itu harus diperpanjang satu hari karena sulitnya menemukan kesepakatan.

Betulkah Kesepakan Paris menjadi solusi?

“Bagi politisi, ini adalah kesepakatan yang adil dan ambisius, namun hal ini justru sebaliknya. Kesepakatan ini pasti akan gagal dan masyarakat sedang ditipu. Masyarakat terdampak dan rentan terhadap perubahan iklim mestinya mendapat hal yang lebih baik dari kesepakatan ini. Mereka yang paling merasakan dampak terburuk dari kegagalan politisi dalam mengambil tindakan,” kata Dipti Bathnagar, Koordinator Keadilan Iklim dan Energi Friends of the Erath International dalam keterangan persnya.

Menurut Bathnagar, negara-negara maju telah menggeser harapan sangat jauh dan memberikan rakyat kesepakatan palsu di Paris. Melalui janji-janji dan taktik intimidasi, negara-negara maju telah mendorong sebuah kesepakatan yang sangat buruk.

Negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa mestinya membagi tanggung jawab yang adil untuk menurunkan emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Namun di Paris, negara-negara kaya berupaya membongkar konvensi perubahan iklim untuk memastikan kepentingan mereka sendiri.

Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye WALHI (Friends of the Earth Indonesia) menegaskan, bagi Indonesia, kesepakatan di Paris akan memberikan dampak sangat signifikan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.

"Kesepakatan iklim di Paris, tidak memberikan jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, dan dengan demikian, lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan dan terdampak perubahan iklim akan berada dalam kondisi yang semakin mengkhawatirkan," jelasnya.

Sikap pemerintah Indonesia yang sangat pragmatis dan tidak memainkan peran strategis dalam negosiasi di Paris, sesungguhnya telah meletakkan Indonesia sebagai negara yang hanya mengikut pada kesepakatan dan kepentingan negara maju. Pemerintah Indonesia lebih mementingkan dukungan program yang merupakan bagian dari mekanisme pasar yang telah dibangun oleh negara-negara maju dalam negosiasi di Paris.

“Kita tidak bisa berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang lebih maju, jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar, khususnya hanya untuk memenuhi hasrat negara maju untuk mitigasi perubahan iklim," kata Kurniawan.

Ia melanjutkan, "Dukungan yang dimaksudkan pemerintah Indonesia dari Kesepakatan Paris tidak akan berarti dan tidak akan berhasil tanpa perbaikan tata kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut, menghentikan penggunaan energi dari sumber kotor batubara, serta menghentikan kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.”

Sebagai catatan kritis, beberapa masalah penting yang menjadi analisis group Friends of the Earth terkait Kkesepakatan Paris, yakni, pertama, Kesepakatan Paris menegaskan bahwa 2 derajat Celcius atau 2C merupakan tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan bahwa setiap negara harus meningkatkan upaya untuk membatasi peningkatan temperatur hingga batas 1,5 dearajat Celcius.

Hal ini tidak akan berarti tanpa mensyaratkan negara-negara maju untuk memangkas emisi mereka secara drastis dan memberikan dukungan finansial sesuai tanggung jawab yang adil, serta memberikan beban tambahan kepada negara-negara berkembang.

Kedua, tanpa kompensasi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, negara-negara yang rentan akan menaggung berbagai masalah dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh mereka.

Ketiga, tanpa finansial yang memadai, negara-negara miskin akan dijadikan sebagai pihak yang harus menaggung beban dari krisis yang tidak berasal dari mereka. Pendanaan tersedia, namun kemauan politik tidak ada.

Keempat, satu-satunya kewajiban yang mengikat secara hukum bagi negara maju adalah mereka harus melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan.

Kelima, pintu sangat terbuka bagi pasar untuk mengeksploitasi krisis iklim tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks. Hal ini menjadi kartu bebas bagi poluter terbesar dalam sejarah.

Dalam kasus REDD+ misalnya, yang terjadi negara-negara maju akan mendukung proyek perkebunan yang merusak di negara-negara berkembang dan bukannya berupaya mengurangi emisi dari bahan bakar fosil di negeri mereka sendiri.

Pada hari akhir negosiasi iklim di Paris, lebih dari 2.000 orang aktivis federasi Friends of the Earth International bersama ribuan masyarakat Paris melakukan aksi untuk menyampaikan pesan global bagi keadilan klim dan perdamaian (Climate Justice Peace) yang tersebar di tengah kota Paris. Aksi ini sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil yang dimobilisasi  Friends of the Earth International untuk menilai dan menyampaikan tuntutan masyarakat sipil untuk keadilan iklim selama proses Konferensi Perubahan Iklim PBB di Paris.



Credit KOMPAS.com


195 negara setujui "Kesepakatan Paris"


195 negara setujui
Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius, Presiden terpilih untuk COP21, berbicara dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan Sekretaris Eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC) Christiana Figueres dalam Konferensi Perubahan Iklim Dunia 2015 (COP21) di Le Bourget, Prancis, Sabtu (5/12). (REUTERS/Stephane Mahe)
 
Paris (CB) - Sebanyak 195 negara peserta Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21 menyetujui "Paris Agreement" atau Kesepakatan Paris yakni kesepakatan internasional terikat hukum untuk pengurangan emisi gas rumah kaca yang diberlakukan pasca 2020.

Presiden Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21, Laurent Fabius mengumumkan "Paris Agreement" di aula La Seine, arena KTT Iklim di Le Bourget, Paris, Prancis pada Sabtu (12/12) malam waktu Paris.

Poin utama kesepakatan tersebut adalah menjaga ambang batas suhu bumi di bawah dua derajat Celcius dan berupaya menekan hingga satu setengah derajat Celcius di atas suhu bumi pada masa pra-industri.

Sebelum mengetuk palu sebagai tanda pengesahan Kesepakatan Paris, Laurent memberikan waktu kepada para utusan negara-negara peserta KTT untuk memberikan tanggapan atau keberatan. Setelah melihat seluruh peserta dan tidak ada tanggapan, Laurent langsung mengetuk palu sidang.

"Saya melihat semuanya positif, tidak ada yang keberatan. Karena itu Kesepakatan Paris diterima," kata Laurent disambut tepuk tangan dan teriakan dukungan dari peserta konferensi.

Lauret mengatakan bahwa "Paris Agreement" membuat seluruh delegasi bisa pulang dengan bangga. "Usaha yang dilakukan bersama-sama akan lebih kuat daripada bertindak sendiri, karena tanggung jawab kita sangat besar," kata Menteri Luar Negeri Prancis itu.

Presiden Prancis, Francois Hollande menyampaikan apresiasi kepada seluruh delegasi negara-negara peserta KTT Ikim yang sudah berunding selama 12 hari.

"Kita sudah melakukannya, meraih kesepakatan yang ambisius, kesepakatan yang mengikat, kesepakatan global. Anda bisa bangga kepada anak cucu kita," katanya.

Ada lima poin utama yang merupakan kesimpulan dari Kesepakatan Paris. Pertama, upaya mitigasi (mitigation) dengan cara mengurangi emisi dengan cepat untuk mencapai ambang batas kenaikan suhu bumi yang disepakati yakni di bawah 2 derajat Celcius dan diupayakan ditekan hingga 1,5 derajat Celcius.

Kedua, sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi secara transparan (transparancy), ketiga upaya adaptasi (adaptation) dengan memperkuat kemampuan negara-negara untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Poin keempat adalah kerugian dan kerusakan (loss and damage) dengan memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim. Poin kelima adalah bantuan, termasuk pendanaan (finance) bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.

Sebelumnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya Bakar mengatakan bahwa Kesepakatan Paris mengakomodir sejumlah tawaran Indonesia antara lain upaya mitigasi perubahan iklim dengan mengembangkan program reduksi emisi dari kerusakan dan degradasi hutan (REDD).

Dalam dokumen tersebut juga disepakati tentang diferensiasi atau perbedaan tanggungjawab mitigasi antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang, pendanaan mitigasi dan adaptasi serta peningkatan kapasitas dan transfer teknologi dari negara-negara maju ke negara berkembang.

"Usulan kita tentang batas kenaikan suhu bumi yakni dua derajat Celcius dan berupaya ditekan hingga satu setengah derajat Celcius karena banyak pulau-pulau kita yang juga terancam bila permukaan air laut naik," katanya.

Menteri mengatakan bahwa setelah COP Paris, seluruh pihak harus bergandengan tangan untuk mewujudkan komitmen Indonesia yakni menurunkan emisi sebesar 29 persen pada 2030 dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional.

KTT Iklim ke-21 di Paris digelar mulai 30 November 2015 dan seyogyanya berakhir pada 11 Desember 2015. Perundingan diperpanjang sehari, karena negosiasi berlangsung alot untuk membahas beberapa poin penting, antara lain batas kenaikan suhu bumi, mekanisme pendanaan dan perbedaan tanggungjawab mitigasi antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju.

Setelah melalui pembahasan intensif selama 13 hari, Presiden COP-21 yang juga Menteri Luar Negeri Prancis memimpin sidang yang menyetujui dan menetapkan "Paris Agreement".


Credit ANTARA News