Jumat, 04 Desember 2015

AS Usulkan Penyelidikan soal Kejahatan Militer Myanmar


AS Usulkan Penyelidikan soal Kejahatan Militer Myanmar  
Rabu (2/12) lalu, kepala militer Myanmar, Aung Min Hlaing berunding soal transisi pemerintahan baru Myanmar dengan tokoh oposisi Aung San Suu Kyi. (Reuters/Hla Hla Htay)
 
Jakarta, CB -- Amerika Serikat mengusulkan penyelidikan mandiri dan kredibel oleh pemerintah Myanmar terkait laporan soal kejahatan militer di negara bagian Shan. AS mengecam insiden yang menyebabkan sekitar 10 ribu orang terpaksa melarikan diri dari daerah tersebut, jika laporan itu benar.

Pekan lalu, kelompok pemerhati HAM setempat, Shan Human Rights Foundation, menuduh pasukan Myanmar melakukan pengeboman beberapa sekolah dan pembakaran sejumlah kuil Buddha, menembaki dan memerkosa warga sipil dalam serangan melawan kelompok pemberontak etnis di Myanmar timur.

"Kami prihatin dengan laporan soal kekejaman militer Burma, termasuk tuduhan penyerangan membabi buta terhadap penduduk sipil dan infrastruktur, pemerkosaan, dan tindakan kekerasan seksual lainnya," kata Katina Adams, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, pada Kamis (3/12).

"Tuduhan ini, jika benar, sangat tercela, dan kami mendesak Pemerintah Burma untuk melakukan penyelidikan yang mandiri dan kredibel terhadap tuduhan tersebut, dan untuk menahan pelaku yang bertanggung jawab atas tindakan mereka," kata Adams, merujuk kepada nama lain negara Myanmar, Burma.


Bulan lalu, diplomat senior AS untuk Asia, Asisten Menteri Luar Negeri Daniel Russel, berada di Myanmar. Dia bertemu dengan Kepala Militer Myanmar, Min Aung Hlaing dan mendesak militer untuk mempromosikan perdamaian dan rekonsiliasi di daerah konflik.

Myanmar tengah menghadapi berbagai aksi separatisme dari kelompok etnis di perbatasan selama beberapa dekade, menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk besar-besaran baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

Oktober lalu, pemerintah semimiliter yang menggantikan junta militer pada 2010 menandatangani gencatan senjata dengan delapan kelompok etnis bersenjata. Namun, kesepakatan itu tidak serta merta menyelesaikan masalah karena tujuh kelompok etnis bersenjata lainnya menolak untuk menandatangani kesepakatan tersebut, termasuk Militer-Utara Negara Bagian Shan dan Tentara Pembebasan Kachin.

Sejak 2010, negara ini mulai memeluk demokrasi dan reformasi sehingga mulai melangsungkan pemilu. Partai oposisi terbesar, Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi menang telak dalam pemilu multi-partai pertama pada November lalu, dengan mengamankan 77 persen kursi di semua majelis di parlemen Myanmar, dengan total 887 kursi dari 1.150 kursi yang diperebutkan.

Suu Kyi pada Rabu (2/12) bertemu dengan kepala militer Aung Min Hlaing dan berunding soal transisi pemerintahan baru Myanmar. Baik Suu Kyi dan Aung Min Hlaing bungkam soal rincian hal yang dibahas dalam pertemuan itu.

Menurut aktivis di negara bagian Shan, militer telah menyerbu enam desa, menembak dan melukai tiga orang, dan menembaki 17 warga desa yang sekarang dinyatakan hilang sejak 6 Oktober 2015.

Shan Human Rights Foundation mendokumentasikan delapan kasus kekerasan seksual sejak April 2015, termasuk wanita berusia 32 tahun yang diperkosa oleh 10 tentara pada 5 November saat suaminya diikat di bawah pondok pertanian mereka di Ke See township (kabupaten).

Hingga saat ini, pemerintah Myanmar belum memberikan komentar apapun soal laporan kejahatan di negara bagian Shan ini. 

Credit  CNN Indonesia