Bahkan di tengah kondisinya yang sakit ia masih menyempatkan waktu untuk menulis. Berikut tulisan terakhir Hasyim Muzadi di surat kabar Republika yang dicetak pada 5 Maret 2017 lalu. Tulisan itu berjudul "Menghitung Kekurangan".
Menghitung Kekurangan
Oleh: KH Hasyim Muzadi.
Khayru awqootika Waqtun tasyhadu fiihi wujuuda faaqotika wa turoddu fiihi Ilaa wujuudi dzillatika
Sebaik-baik waktumu adalah ketika engkau menyadari kekuranganmu dan engkau pun kembali mengakui kerendahanmu.
Untaian kata-kata indah di atas terlontar dari salah seorang mistikus agung dalam Islam, Ibnu 'Athoillah as-Sakandari. Para salik biasa menggunakan kata-kata simbolis saat menerjemahkan firman Allah. Mereka memberi tafsir atas firman-firman agung dengan cara yang khas. Termasuk ketika memberi pemaknaan atas substansi dan urgensi waktu bagi anak manusia. Waktu adalah salah satu hal terpenting dalam kehidupan. Bahkan, waktu adalah kehidupan itu sendiri.
Seperti biasa, beliau memberi kita panduan serbasingkat. Pendek, tetapi penuh makna. Sedikit, tapi selalu bertenaga. Itulah keistimewaan mutiara al-Hikam salah satu magnum opus yang diwariskan kepada kita. Demikian penting makna waktu sehingga semua hal ditentukan dengannya. Kita lahir dengan waktu dan akan pergi meninggalkan dunia fana dengan waktu. Kita bergabung dengan waktu: sesuatu yang telah Allah ciptakan sebelum kita lahir ke dunia.
Begitulah makam waktu bagi kehidupan. Ia menempati ruang yang sangat penting. Ia mengawali dan ia pula yang mengakhiri setiap kegiatan. Sering kita jumpai Allah bersumpah atas nama waktu. Tengoklah Alquran: kita akan dapati Allah bersumpah atas nama waktu Ashar, waktu Dhuha, waktu malam, waktu siang, dan waktu lain. Allah ingatkan kita: pasti merugi siapa saja yang tidak mengindahkan waktu. Sebab, waktu yang tersedia bagi kita sudah dijatahkan. Tak kurang, tak lebih.
Agar setiap makhluk dapat menerjemahkan misi penciptaannya dalam kehidupan, Allah menyiapkan bekal. Bekal yang kita butuhkan dalam mengarungi bahtera kehidupan. Karena misinya sama, maka bekal yang kita terima tak jauh berbeda. Dan bekal paling nyata adalah waktu. Kita diberi garis waktu kapan mesti memulai tugas dan waktu kapan akan menyudahi semuanya. Bila ajal waktu pencabutan nyawa sudah tiba, usai sudah misi kita di dunia.
Dalam konteks kita, waktu tersusun dari banyak dimensi. Detik berdetak menjadi menit. Menit berkumpul menjadi jam. Jam bergerak menjadi hari. Hari berubah menjadi minggu. Minggu berputar menjadi bulan. Bulan berotasi menjadi tahun. Tahun adalah hitungan terpanjang bagi anak manusia. Sebagai hamba Allah, mestinya tak ada detik yang lewat tanpa amal saleh. Sebab, waktu yang tersedia tidaklah banyak. Waktu di dunia tak lebih dari sekadar terbangun dari mimpi.
Waktu akan mengantarkan kita memasuki alam lain yang masanya jauh lebih panjang daripada waktu di dunia. Nah! Amal saleh yang kita kumpulkan selama waktu di dunia akan sangat ditentukan kegunaannya bagi kita oleh Allah melalui rahmat-Nya. Rahmat alias kasih sayang Allah sajalah yang bisa menyelamatkan kita dari tajamnya sayatan waktu dalam kehidupan yang akan datang. Maka, mari dengan segela kerendahan, memelas kepada Allah agar kita dapat berbuat.
Berbuat apa? Berbuat sesuatu yang dapat menyadarkan kita betapa kecil kita di hadapan kebesaran Allah SWT. Betapa kurang kita di hadapan kesempurnaan Allah. Betapa bodoh kita di hadapan ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Betapa hina kita di hadapan kemuliaan Allah. Betapa miskin kita di hadapan kekayaan Allah. Betapa lemah kita di hadapan kekuatan Allah. Betapa bukan siapa-siapa diri ini tanpa kehadiran Allah dalam kehidupan kita sehari-hari.
Bagaimana caranya agar kita dapat meraih cinta dan kasih sayang Allah? Ada baiknya peringatan Ibnu 'Atho' di awal refleksi ini kita jadikan panduan. Jauh sebelum itu, Khalifah Umar bin Khattab juga telah mengingatkan kita terkait waktu. Menurut beliau, Waktu ibarat pedang yang tajam. Kalau kau tak kuasa memotong waktu, maka waktulah yang akan memotongmu. Sepuluh tahun menjadi khalifah adalah waktu-waktu yang penuh kegemilangan bagi umat Islam.
Bagi kita, manusia yang kualifikasinya berada jauh di bawah Sayyidina Umar, ajakan Ibnu 'Atho' penting jadi renungan. Merenungi bahwa manusia diciptakan dengan segala kekurangan dan kelemahan. Diberi banyak tak pernah merasa cukup. Diberi sedikit tak pernah belajar bersyukur. Cara yang tepat untuk menggedor kesadaran terdalam adalah dengan mengingatkan bahwa manusia bukan siapa-siapa tanpa pertolongan orang lain. Hidupnya selalu bergantung pada hidup orang lain.
Maka, duduk dan merenunglah! Rukuk dan bersujudlah! Sadarilah bahwa agar hidup kita bisa hidup, kita butuh tiupan sebagian ruh-Nya ke dalam diri kita. Sejak itu, kekekurangan dan kelemahan kita semakin nyata. Dari kandungan ibunda, kita butuh plasenta. Begitu dilahirkan, kita tergolek lemah tak berdaya. Hanya karena kasih sayang Allahlah orang-orang di sekitar kita menjadi lembut hatinya dan mau berbagi kasih sayang dengan kita. Demikian seterusnya.
Daftar kelemahan dan kekurangan akan makin lengkap sesuai bertambahnya umur. Daftar inilah yang akan menyelamatkan kita. Daftar kekurangan dan kelemahan menjadi alat paling menakjubkan agar kita selalu ingat betapa kita sangat butuh pertolongan Allah. Orang-orang yang merasa kurang dan lemah sajalah yang menyadari pentingnya makna sebuah pertolongan. Mari terus sadar diri bahwa kita memang makhluk yang lemah dan hina. Wallahu a'lam bissawab.
Credit REPUBLIKA.CO.ID