"Pemerintahan Trump mengakui bahwa larangan awal kunjungan Muslim dia tidak bisa dipertahankan. Sayangnya, kebijakan itu diganti dengan versi yang lebih buruk, yang memiliki cacat fatal yang sama," kata Omar Jadwat, direktur American Civil Liberties Union's Immigrant Rights Project.
"Satu-satunya cara untuk benar-benar memperbaiki larangan Muslim adalah tidak memiliki larangan Muslim," kata Jadwat dalam sebuah pernyataan.
"Sebaliknya, Presiden Trump kembali mendiskriminasi agama, dan dia tahu hal itu akan mendapatkan penolakan lebih lanjut dari pengadilan dan masyarakat."
New York Immigration Coalition (NYIC) menyebut revisi pelarangan tersebut, yang menangguhkan visa baru bagi warga dari enam negara mayoritas Muslim, "topeng untuk kebencian, ketakutan dan ketidakmampuan yang sama."
"Ini satu lagi contoh dari upaya presiden untuk memecah negara ini dan menanamkan rasa panik dan ketakutan bagi para imigran, pengungsi dan masyarakat Muslim," kata direktur NYIC, Steven Choi.
Human Rights Watch menyatakan perubahan terhadap perintah awal 27 Januari, yang berbenturan dengan konstitusi Amerika Serikat karena terlihat terang-terangan menyasar Muslim, "hanya kosmetik."
"Presiden Trump kelihatannya masih yakin kau bisa menentukan siapa teroris hanya dengan mengetahui dari negara mana seorang pria, perempuan atau anak-anak berasal," kata peneliti kelompok imigrasi AS, Grace Meng.
Rabbi Jack Moline, presiden Interfaith Alliance, mengatakan mereka juga berharap ikut berjuang menentang perintah baru itu di pengadilan.
"Bahkan dalam bentuk revisi minim, larangan Muslim Presiden Trump melanggar prinsip-prinsip konstitusi dan merongrong posisi Amerika di dunia," kata Moline sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
"Kita harus jelas bahwa mendiskriminasi jutaan orang berbasis agama mereka tidak ada hubungannya dengan Amerika yang lebih aman."
United Farm Workers of America, perserikatan yang secara terpisah berjuang menentang upaya Trump mengusir jutaan orang, utamanya imigran Latin tak berdokumen, menyebut larangan perjalanan baru itu sebagai "penghinaan besar terhadap nilai-nilai fundamental yang menjadikan Amerika sebagai bangsa luar biasa."
Credit antaranews.com
Direvisi, Kebijakan Imigrasi Trump Masih Hambat Pariwisata AS
Meski direvisi dengan tidak memasukkan
Irak dalam daftar pelarangan, dunia pariwisata AS masih akan kena
dampaknya. (Foto: REUTERS/Jonathan Ernst)
Ungkapan itu disampaikan Kepala Badan Pariwisata Dunia Perserikatan Bangsa-bangsa, pada Selasa (7/3), seperti dilansir Reuters.
"Orang-orang tidak akan mau datang ke tempat yang tidak membuat mereka nyaman," ujar Taleb Rifai, sekretaris jenderal badan PBB tersebut sebelum pembukaan pameran perdagangan pariwisata terbesar di dunia, ITB Berlin, yang dimulai Rabu.
Berdasarkan perintah itu, para warga dari enam negara berpenduduk mayoritas Muslim dilarang masuk ke Amerika Serikat, dengan tidak lagi memasukkan Irak ke dalam daftar seperti keputusan sebelumnya. Keenam negara yang masih dilarang itu yakni Suriah, Iran, Libya, Somali, Yaman dan Sudan.
"Ini bukan masalah negara-negara mana yang termasuk (dalam daftar), ini lebih kepada soal perilaku," kata Rifai menambahkan.
Pekan lalu, Rifai mengatakan kepada Reuters bahwa Amerika Serikat telah kehilangan potensi pendapatan sebesar US$185 juta (sekitar Rp2,4 triliun) setiap bulannya setelah larangan pertama diterapkan.
AS juga akan kehilangan puluhan juta dolar lagi setiap bulan jika kebijakan serupa terus diterapkan.
Menurut data bulan ini dari perusahaan analisa pariwisata, ForwardKeys, kekuatan minat kunjungan ke AS dalam beberapa bulan mendatang sudah melemah. Namun, penurunan minat berkunjung ke AS diperkirakan tidak akan berdampak pada minat kunjungan wisata secara umum.
Jumlah wisatawan asing diperkirakan akan tumbuh tiga atau empat persen tahun ini dibandingkan tahun lalu, yang saat itu berjumlah 1,24 miliar orang, kata Rifai.
"Dunia telah membuka diri sedemikian hebatnya. Sekarang begitu banyak pilihan. Kalau kita ingin bermain judi, kita tidak harus pergi ke Las Vegas, sebagai penggantinya kita bisa pergi ke Makau," ujarnya.
Lembaga pengamat pasar Euromonitor telah memangkas perkiraan jumlah wisatawan yang datang di AS hingga tahun 2020 menjadi 84,2 juta dari 85,2 juta di tengah ketidakpastian soal larangan masuk ke AS.
Caroline Bremner, kepala bidang penelitian Euromonitor mengatakan tujuh negara yang sebelumnya dilarang masuk AS memang tidak signifikan jika dilihat dari jumlah wisatawan yang datang ke AS.
Namun, dampak lebih besarnya ada pada pesan yang disampaikan Trump akan keterbukaan dan sambutan di bawah pemerintahan AS yang baru.
Credit cnnindonesia.com/