Lebih dari 20.000 orang dari Myanmar melintasi perbatasan China dalam beberapa pekan belakangan untuk berlindung dari pertempuran sengit di wilayah utara, yang mendorong Beijing menyerukan gencatan senjata suku pemberontak dengan pasukan Myanmar.
"Sedikit-dikitnya terjadi 48 bentrokan bersenjata melibatkan Persekutuan Tentara Nasional Demokratik Myanmar (MNDAA) dan mengakibatkan kematian puluhan tentara Myanmar," kata "Global Cahaya Baru", harian di Myanmar.
Jumlah itu hanya perkiran dari keseluruhan tentara tewas selama masa pembersihan daerah, yang dilakukan tentara pemerintah pada 6-12 Maret.
Pada pekan lalu, pemerintah mengatakan bahwa lima warga dan lima polisi lalu lintas tewas dan 20 mayat ditemukan setelah MNDAA melakukan serangan pada 6 Maret di Laukkai, ibukota wilayah timur laut Kokang.
"Sejumlah warga luka-luka dalam serangan itu," kata harian itu menambahkan.
Suu Kyi, yang mulai berkuasa pada 2015 dalam janji rekonsiliasi nasional, mengatakan akan berjuang memberikan dorongan baru untuk terciptanya proses perdamaian, namun para perwakilan suku menuduhnya berpihak pada militer.
Sekitar 270 staf dari sebuah hotel di Laukkai telah "diculik" oleh MNDAA pada 6 Maret dan dibawa ke kota Nansan, China untuk dilatih militer secara paksa, kata surat kabar itu.
MNDAA telah mengawal dengan selamat staf hotel untuk dibawa ke Nansan, kata kelompok itu pada situsnya.
Wilayah itu sekarang dalam "keadaan perang" dan pertempuran menjadi semakin sengit, terang kelompok itu dalam sebuah pernyataan yang diunggah di laman mereka pada Minggu.
MNDAA adalah bagian dari Aliansi Utara - koalisi kelompok pemberontak yang terdiri dari sebuah milisi paling kuat di Myanmar, Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), dan dua kelompok kecil yang telah terlibat pertempuran dengan militer Myanmar sejak bentrokan di daerah Kokang pada 2015.
Banyak korban tewas dan puluhan ribu orang mengungsi dari wilayah itu selama pertempuran berlangsung. Pertempuran juga meluas ke wilayah Cina dan mengakibatkan kematian lima orang warga China, hal ini membuat Beijing geram.
Credit antaranews.com