Satu juta warga yang dipindahkan secara paksa harus kembali ke Myanmar.
CB, DHAKA
-- Pemerintah Bangladesh meminta dukungan dan bantuan Amerika Serikat
(AS) untuk proses repatriasi pengungsi Rohingya. Washington diminta
menciptakan zona aman di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, agar para
pengungsi bersedia kembali.
Permintaan itu
disampaikan Menteri Luar Negeri Bangladesh Abdul Momen saat bertemu
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di Washington. Menurut keterangan
pers yang dirilis Kementerian Luar Negeri Bangladesh, Momen meminta
Pompeo membantu memberikan tekanan internasional kepada Myanmar agar
menerima kepulangan pengungsi Rohingya.
Pompeo pun mengindikasikan akan membantu Bangladesh menangani
masalah tersebut. “Satu juta lebih warga Myanmar yang dipindahkan secara
paksa harus kembali ke Myanmar tanpa rasa takut dan penganiayaan apa
pun,” kata Kementerian Luar Negeri Bangladesh dalam keterangannya,
mengutip pernyataan Pompeo, dilaporkan laman
Anadolu Agency, Selasa (9/4).
Pompeo
menilai, Pemerintah Myanmar memang tak bisa melepaskan diri dari
persoalan pengungsi Rohingya. “Adalah tanggung jawab pemerintah dan
militer Myanmar untuk menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga
Rohingya merasa aman untuk kembali ke rumah,” ujar Pompeo.
Sebelumnya
Momen telah mengatakan bahwa ASEAN siap memainkan peran utama dalam
proses repatriasi Rohingya. “Thailand adalah ketua ASEAN saat ini.
Mereka bersedia mengambil peran utama dalam proses repatriasi pengungsi
Rohingya,” ujar Momen seusai bertemu Menteri Luar Negeri Thailand Don
Pramudwinai di Dhaka pada awal April lalu.
Momen
sempat menanggapi pertanyaan awak media tentang proposal Bangladesh
untuk membentuk 'zona aman' di Rakhine bagi orang-orangRohingya. Dia
mengatakan Pramudwinai setuju dengan gagasan tersebut. Namun penamaannya
mungkin akan diganti. Sebab zona aman mengandung konotasi tertentu.
Dengan adanya zona itu, para pengungsi Rohingya diharapkan dapat merasa
aman untuk kembali.
Pada Agustus 2017, lebih dari
700 ribu orang Rohingya melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh. Hal
itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk
menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Masifnya
arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis
kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda
atau kamp dan meNggantungkan hidup pada bantuan internasional.
Pada
November 2017, Bangladesh dan Myanmar menyepakati pelaksanaan
repatriasi. Tahun lalu, kedua negara memulai proses pemulangan sekitar
2.200 pengungsi. Namun proses tersebut dikritik oleh sejumlah negara,
termasuk PBB.
PBB menilai sebelum benar-benar
dipulangkan, para pengungsi seharusnya diberi izin untuk melihat situasi
serta kondisi di Rakhine. Dengan demikian, mereka dapat menilai dan
menyimpulkan sendiri apakah dapat pulang dengan aman ke sana. Di sisi
lain, PBB masih menyangsikan bahwa hak-hak dasar Rohingya, terutama
status kewarganegaraan, dapat dipenuhi oleh Myanmar.