Cina dan AS diprediksi paling merasakan dampak buruk perang dagang.
CB,
MELBOURNE -- Bank investasi raksasa UBS mengungkapkan pasar saham
global jatuh lebih dari 20 persen, ekonomi menyusut, dan inflasi kembali
menghantui adalah prognosis suram dari perang dagang.
Situasi saat ini dinilai buruk karena perang dagang dilakukan
secara penuh oleh AS dan Cina. AS melakukan semua tindakan yang
dijanjikan, sementara Cina membalas seperti perkiraan.
Menurut
UBS, pertumbuhan PDB global akan turun sebesar 1 poin persentase dan
inflasi akan naik sebesar 0,3 poin persentase. Nantinya, pihak yang
kalah terbesarnya adalah protagonis utama yakni AS dan Cina, dengan PDB
turun drastis, yakni masing-masing turun 2,5 dan 2,3 poin persentase.
AS dan Cina juga akan terpukul dengan lonjakan inflasi yang lebih tinggi dari rata-rata.
"Bahwa
dampak negatif pada pertumbuhan AS lebih besar daripada negara lain
mungkin berlawanan dengan intuisi, tetapi itu adalah fungsi dari
pertempuran di banyak front perdagangan yang berbeda dan hambatan besar
yang datang dari harga minyak yang jauh lebih rendah," kata UBS.
Sementara
harga yang lebih tinggi yang disebabkan oleh pajak impor adalah efek
yang paling segera dirasakan. Hal itu berkontribusi sekitar separuh dari
penurunan PDB. Sementara, dampak yang lebih besar akan datang dari
perubahan rantai pasokan barang global yang terkena pajak dan dampak
terhadap pekerjaan dan kepercayaan diri.
"Pengaruh
pendapatan negatif dari pertumbuhan ekspor yang lebih lemah akan
menurunkan laba dan upah perusahaan, dan membebani konsumsi rumah tangga
dan investasi tetap," kata UBS. Skenario perang perdagangan global
mengasumsikan eskalasi dari ancaman langsung AS yang membebankan pajak
10 persen terhadap tambahan impor Cina senilai 200 miliar dolar AS (atau
setara Rp 2,7 kuadriliun) hingga pajak 30 persen terhadap hampir setiap
produk Cina yang mendarat di AS.
Poin-poin utama prediksi UBS:
•
Menurut UBS, perdagangan penuh bisa menyebabkan ekuitas global jatuh
lebih dari 20pc dan PDB (produk domestic bruto) global jatuh
•
Eskalasi yang mengarah ke perang berkekuatan penuh dengan konsekuensi
pajak impor Cina sebesar 30 persen ditambah pembalasan bisa dimulai
paling cepat Oktober
• Tokoh protagonis utama AS dan Cina kemungkinan menjadi pecundang terbesar
Linimasa Perang Dagang
Tanggal | Peristiwa | Perkiraan UBS |
11 Juli | AS mengumumkan pajak 10 persen bagi tambahan impor senilai 200 miliar dolar AS (atau setara Rp 2,7 kuadriliun) |
Sudah terjadi.
Implementasi kemungkinan sebelum Oktober
|
20 Juli | Tambahan 16 miliar dolar AS (atau setara 224 triliun) dalam bentuk barang dikenakan pajak 25 persen oleh Cina dan AS | Ya, target teridentifikasi, proses konsultasi selesai, kemungkinan pengumuman 2 minggu mendatang |
September | AS mengimplementasikan pajak 10 persen untuk tambahan impor senilai 200 miliar dolar AS (atau setara Rp 2,7 kuadriliun) | Ya, mengingat negosiasi atas praktek kekayaan intelektual di Cina tak akan terselesaikan |
September | Cina membalas dendam | Ya (sebagian) tapi impor dari AS terlalu kecil untuk sebuah respon proporsional |
Oktober | AS akan memutuskan apakah akan membalas tindakan balas dendam sebagian dari China | Tidak jelas. Hanya ada kemungkinan kecil untuk deeskalasi, sebaliknya akan ada perang dagang penuh dengan 30 persen tarif. |
Akhir tahun | AS umumkan pajak mobil global | Ya, tapi dengan beberapa pecahan. |
Sumber: UBS
Pada
pemodelan yang disampaikan UBS, tarif ajak 10 persen akan menyebabkan
patokan utama ekuitas AS, yakni S & P500, jatuh 10 persen. Perang
dagang besar-besaran akan terjadi lebih dari dua kali lipat dari
kemunduran itu, yang menghempaskan ekuitas AS jauh ke dalam batas
kemampuan mengingat pendapatan rata-rata turun sekitar 15 persen.
Ekuitas Asia akan turun 24 persen dan Eropa sebesar 25 persen.
Satu-satunya
berita positif bagi investor Australia adalah ASX (bursa saham
Australia) akan sedikit mengungguli bursa lain di seluruh dunia dalam
scenario itu, tetapi masih turun hampir 20 persen.
AS paling terpukul
Selain
itu, akan ada konsekuensi karena perang dagang tersebut. Suku bunga
global akan jatuh, obligasi 10-tahun AS akan turun sekitar 50 basis poin
dan kenaikan yang diperkirakan dari bank sentral AS tahun depan akan
lenyap begitu saja.
Pertumbuhan yang lebih rendah
juga akan diterjemahkan sebagai jatuhnya permintaan akan minyak sekitar
500 ribu barel per hari dan harganya-pun jatuh kembali di bawah 60 dolar
AS (atau setara Rp 600 ribu) per barel. Meski kerugian di kedua belah
pihak tidak dapat dihindari, AS mungkin paling menderita dalam kasus
perang dagang habis-habisan.
"Dibandingkan
dengan AS, China seharusnya memiliki lebih sedikit masalah dalam
mencari pengganti untuk sebagian besar impor pertanian/kendaraan," kata
UBS.
Saking
bermasalahnya, mengingat bagian-bagian dari basis manufaktur AS telah
hilang, dalam banyak kasus, AS tidak memiliki pengganti impor dan
gangguan produksi industri akan menyebar. "Dengan penurunan produksi
itu, kehilangan pekerjaan dan ketakutan kehilangan pekerjaan lebih
menekan belanja konsumsi," ujar hipotesis UBS.