Selasa, 07 November 2017

Paradise Papers Ungkap Aset Menlu AS di 'Surga Pajak'


Paradise Papers Ungkap Aset Menlu AS di 'Surga Pajak'
Menlu AS kembali menjadi sorotan setelah namanya disebut dalam Paradise Papers karena 'menimbun' harta jutaan dolar melalui sahamnya di perusahaan offshore. (Reuters/Yuri Gripas)


Jakarta, CB -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Rex Tillerson, kembali menjadi sorotan setelah namanya disebut dalam Paradise Papers karena 'menimbun' harta jutaan dolar melalui sahamnya di perusahaan offshore, yang selama ini dikenal untuk menghindari pajak.

Dalam sejumlah dokumen dalam Paradise Papaers yang dirilis oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) pada Minggu (5/11), disebutkan bahwa Tillerson menanam saham pada perusahaan minyak dan gas Marib Upstream Co., yang berbasis di Bermuda.

Eks CEO ExxonMobil itu juga disebut pernah menjadi direktur Marib Upstream Co. pada 1997, saat dirinya juga menjabat sebagai presiden ExxonMobil Yaman. Menurut Data klien milik firma hukum Appleby itu, Tillerson baru mengundurkan diri dari pimpinan Marib Upstream Co. pada 1998.


Marib Upstream Co. merupakan perusahaan joint venture antara perusahaan negara Yemen Gas Company, anak perusahaan ExonMobil yakni Yemen Exploration & Production Company, dan Yemen LNG Company yang juga memiliki saham besar di perusahaan minyak Perancis, Total.


Marib Upstream Co selama ini menjalankan operasinya dengan cara sistem bagi hasil bersama pemerintah Yaman hingga ditangguhkan pada 2005 lalu, ketika Sanaa menyerahkan seluruh hak produksinya kepada perusahaan milik negara.

Selain Tillerson, ada beberapa pejabat sekaligus konglomerat AS lainnya yang tercantum dalam Paradise Papers dan diketahui memiliki hubungan dekat dengan Trump, salah satunya Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross, investor Thomas J Barrack Jr., Sheldon G Adelson, dan Steve Wynn.


Sementara itu, sejumlah eks pemimpin negara seperti mantan Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama, eks presiden Costa Rica Jose Maria Figueres, dan mantan PM Pakistan Shaukat Aziz juga masuk dalam Paradise Papers yang mencakup 13,4 juta dokumen itu.

Dokumen tersebut menunjukkan betapa dalamnya sistem keuangan perusahaan cangkang offshore yang selama ini dikenal untuk menghindari pajak.


Perusahaan cangkang tersebut digunakan oleh para pemain politik dunia dan perusahaan global lainnya untuk menghindari pajak melalui manuver pembukuan yang semakin imajinatif.

Bocoran tersebut pertama kali diperoleh surat kabar Jerman, Süddeutsche Zeitung, dan dibagikan ke ICIJ yang memiliki jaringan lebih dari 380 wartawan di 67 negara.

Namun, ICIJ menyatakan, ada legitimasi terhadap penggunaan jasa perusahaan cangkang offshore dan trust. ICIJ tidak menyatakan dan memberikan sugesti bahwa perusahaan yang tercatat dalam dokumen tersebut melanggar atau bertindak tidak sesuai hukum.




Credit  cnnindonesia.com


Paradise Papers Gali Relasi Bisnis Mendag AS dan Mantu Putin


Paradise Papers Gali Relasi Bisnis Mendag AS dan Mantu Putin
Dokumen Paradise Papers membongkar investasi Mendag AS, Wilbur Ross, yang ternyata menjalin hubungan bisnis dengan menantu Presiden Rusia, Vladimir Putin. (Reuters/Brendan McDermid)


Jakarta, CB -- Jutaan dokumen dalam Paradise Papers membongkar investasi sejumlah tokoh dunia di perusahaan "surga pajak", termasuk Menteri Perdagangan Amerika Serikat, Wilbur Ross, yang ternyata menjalin hubungan bisnis dengan menantu Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Bocoran dokumen yang dirilis oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) pada Minggu (5/11) itu menunjukkan Ross memegang saham di salah satu perusahaan perkapalan, Navigator, melalui rantai investasi offshore.

Perusahaan itu ternyata menjalin kerja sama menguntungkan dengan Sibur, perusahaan gas Rusia yang juga dimiliki oleh Kirill Shamalov, suami dari putri Putin, Katerina Tikhinova.


Ross sendiri sudah melepaskan jabatannya di Navigator pada November 2014, dan hanya menanamkan saham di perusahaan itu setelah ia diangkat menjadi Mendag oleh Trump pada tahun ini.

Namun, sebagai pemegang saham, dia tetap mendapat keuntungan dari perusahaan Rusia yang dijalankan oleh keluarga Putin dan sekutu-sekutu dekatnya, beberapa di antaranya berada di bawah sanksi AS.


Lebih jauh, catatan perusahaan menunjukkan, Navigator mulai menggenjot relasinya dengan Sibur sejak 2014, ketika AS dan Uni Eropa menjatuhkan sanksi atas Rusia karena pencaplokan Krimea. Sejak saat itu, Sibur sudah meraup keuntungan senilai US$68 juta dari Navigator.

Sejumlah analis pun mengatakan bahwa bisnis ini sangat bermasalah. Daniel Fried yang pernah menjabat sebagai asisten Menteri Luar Negeri hubungan Eropa dan Eurasia pada masa George W Bush, mengatakan bahwa hubungan Ross dengan "kroni Putin" dapat melemahkan sanksi AS.

"Saya tidak mengerti mengapa ada orang yang memutuskan menjalin hubungan seperti ini ketika dia akan menduduki posisi senior dalam pemerintahan. Apa yang dia pikirkan?" katanya.

Namun, seorang pejabat senior Kemlu AS yang merancang sanksi Rusia di masa Barack Obama, Peter Harrell, mengaku tak terkejut dengan bocoran ini.

"Saya sebenarnya sangat terkejut. Mungkin seharusnya saya tidak terkejut, melihat pemerintahan ini, mungkin ada Rusia di setiap titik," ucap Harrell.


Menanggapi pemberitaan ini, sekretaris pers Ross, James Rockas, mengatakan bahwa kepemilikan saham ini tak akan berbenturan dengan tugas sebagai menteri perdagangan AS.

Meski demikian, laporan ini justru semakin memicu kecurigaan publik atas keterkaitan Ross dalam kasus dugaan intervensi Rusia dalam pemilihan umum AS pada 2016 lalu untuk memenangkan Trump.

Sebelumnya, Ross selalu menegaskan bahwa dia tuduhan itu hanya "rumor tak berdasar."

Data yang mengungkap hubungan Ross dan Shamallov ini hanya sebagian dari 13,4 juta dokumen Paradise Papers.


Dokumen tersebut menunjukkan betapa dalamnya sistem keuangan perusahaan cangkang offshore yang selama ini dikenal untuk menghindari pajak.

Perusahaan cangkang tersebut digunakan oleh para pemain politik dunia dan perusahaan global lainnya untuk menghindari pajak melalui manuver pembukuan yang semakin imajinatif.

Bocoran tersebut pertama kali diperoleh surat kabar Jerman, Süddeutsche Zeitung, dan dibagikan ke ICIJ yang memiliki jaringan lebih dari 380 wartawan di 67 negara.

Namun, ICIJ menyatakan, ada legitimasi terhadap penggunaan jasa perusahaan cangkang offshore dan trust. ICIJ tidak menyatakan dan memberikan sugesti bahwa perusahaan yang tercatat dalam dokumen tersebut melanggar atau bertindak tidak sesuai hukum.



Credit  cnnindonesia.com