Jumat, 01 Juli 2016

China tak berhak atas "traditonal fishing ground" di ZEE Indonesia

 
China tak berhak atas
Presiden Tinjau KRI Imam Bonjol Presiden Joko Widodo meninjau KRI Imam Bonjol 383 usai memimpin rapat rapat terbatas tentang Natuna di atas kapal perang tersebut saat berlayar di perairan Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (23/6/2016). (ANTARA FOTO/Setpres-Krishadiyanto) 
 
Jakarta (CB) - Traditional fishing ground yang diklaim China di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah hal yang tidak benar, kata pakar hukum laut internasional Profesor Hasyim Djalal.

"Zona Ekonomi Ekskusif Indonesia (ZEEI) sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional. Di dalam ZEEI tidak ada traditional fishing ground China," kata Hasyim Djalal dalam diskusi dalam Rapat Koordinasi Nasional Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal di Jakarta, Kamis.

Hasyim Djalal juga mengingatkan bahwa dalam Konvensi PBB tentang hukum laut tidak muncul istilah "traditional fishing ground", namun yang ada adalah "traditional fishing rights".

Masih sesuai dalam konvensi hukum laut, ujar dia, "traditional fishing rights" juga harus dirumuskan dengan negara terkait yang memiliki zona ekonomi sehingga memiliki kedaulatan akan sumber daya di sana.

"Makanya konvensi hukum laut mengatur hak-hak atas zona ekonomi itu," katanya.

Sementara itu, pengajar hukum internasional Fakultas Hukum UI Prof Melda Kamil Ariadno mengingatkan Indonesia adalah negara yang perbatasannya sangat terbuka dan dapat dimasuki dari mana saja sehingga sangat rentan dilanggar oleh kapal-kapal asing.

Apalagi, ujar Melda Kamil, ditengarai penegakan hukum di kawasan perairan masih lemah dan tidak terintegrasi sehingga ada daerah yang tidak bisa diawasi secara terus menerus sehingga wajar bila pemerintah membentuk Satgas 115 Anti-IUUF.

Melda mengapresiasi kinerja penegak hukum selama ini yang telah memberantas kapal ikan asing serta diberikan efek jera dengan ditenggelamkannya sejumlah kapal ikan asing, tetapi langkah-langkah ini juga masih belum cukup dan harus terus dioptimalkan ke depannya.

Untuk itu, ujar dia, sudah selayaknya ada kejelasan di seluruh wilayah perairan Indonesia mengenai siapa yang bisa melakuan penegakan hukum terhadap pihak yang melanggar sehingga SOP-nya juga harus lebih jelas.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan pernyataan Tiongkok bahwa perairan Natuna termasuk dalam wilayah penangkapan ikan tradisional mereka adalah klaim yang tidak berdasar.

"Dari sejak awal ketika insiden pertama terjadi, saat muncul kalimat traditional fishing ground (wilayah penangkapan ikan tradisional), yang kita perlukan adalah dasar yang dijadikan pertimbangan atas klaim tersebut," kata Menlu Retno usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (20/6).

Pernyataan tersebut disampaikan Menlu RI tersebut untuk menanggapi pernyataan juru bicara kementerian luar negeri Tiongkok yang menyatakan kapal Tiongkok berhak menangkap ikan di perairan Natuna karena termasuk wilayah penangkapan ikan tradisional mereka.

Pada Sabtu (18/6), jubir Kemlu Tiongkok menyampaikan protes melalui laman resmi mereka yang kemudian dimuat di media Tiongkok dan internasional, atas penangkapan satu kapal dan tujuh ABK Tiongkok oleh TNI AL karena melakukan penangkapan ikan ilegal di Natuna pada Jumat (17/6) lalu.

Penangkapan kapal ikan Tiongkok di wilayah ZEE pada 17 Juni tersebut merupakan kejadian yang ketiga kalinya, setelah sebelumnya TNI AL menangkap kapal dan ABK Tiongkok di perairan Natuna pada Maret dan Mei 2016.

"Apabila nanti terulang lagi, sikap yang sama akan dilakukan oleh Indonesia karena ini adalah sikap yang kita lakukan di ZEE kita dan sesuai dengan hukum internasional," kata Menlu.*



Credit  ANTARA News