CB - Peneliti dari Jepang, Australia, dan Indonesia mulai meneliti struktur gigi manusia purba Homo floresiensis yang ditemukan di Flores, Nusa Tenggara Timur, sejak 2003.
Penelitian dilakukan untuk mencari bukti bahwa "manusia hobbit" dengan tinggi hanya berkisar satu meter itu bukan dari jenis manusia modern (Homo sapiens) yang mengalami kecacatan.
Tim peneliti terdiri dari para ahli di Museum Nasional Ilmu Pengetahuan dan Alam (Jepang), Universitas Wollongong (Australia), dan Pusat Arkeologi Nasional (Indonesia).
Pekan lalu para ahli mulai membandingkan 40 spesimen gigi dari sembilan Homo floresiensis dengan gigi 490 manusia modern serta gigi sepupu manusia yang telah punah.
Dari hasil analisis, mereka menemukan bahwa sebagian gigi manusia purba dari Flores ini memang berukuran sama dengan gigi individu manusia modern, tetapi sebagian lagi ukuran giginya sama dengan manusia purba yang lebih tua lagi. Karakter giginya juga lebih mirip dengan manusia purba seperti Homo erectus.
Mereka membandingkan gigi-gigi tersebut dengan menggunakan analisis metric linear, analisis kontur gigi geraham, dan membandingkan satu demi satu ciri khas morfologi gigi. Dari situ, para ahli menemukan indikasi bahwa sisa gigi pada beberapa individu memiliki kombinasi gigi yang tidak ditemukan pada spesies manusia modern.
Dalam jurnal yang diunggah ke dalam situs Plos One disebutkan, temuan itu membuat para ilmuwan menolak anggapan bahwa hobbit merupakan satu spesies dengan manusia modern.
Ada kemungkinan Homo floresiensis ini merupakan keturunan Homo erectus. Mereka menduga manusia purba ini menjadi kecil karena tinggal di pulau yang sumber daya alamnya sangat terbatas sekitar 18.000 tahun lalu.
Kerangka manusia Homo floresisensis ditemukan empat peneliti Pusat Arkeologi Nasional, yakni Wahyu Saptomo, Jatmiko, Thomas Sutikna, dan Rokus Awe Due, bersama Mike Morwood dari University of New England, Australia.
Ketika melakukan penggalian di gua karst Liang Bua pada 2003 yang diketuai RP Soeroso, mereka menemukan sembilan kerangka tulang manusia yang ukurannya seperti bocah, tingginya hanya 1 meter lebih sedikit.
Temuan kerangka itu digali di salah satu sudut Liang Bua. Menurut Thomas Sutikna, Liang Bua memiliki data sejarah yang sangat lengkap mulai dari masa Holosen hingga Plestosen. Mengingat rentang masa itu, kemungkinan masih akan ada temuan lain selain Homo floresiensis.
Kerangka manusia kerdil Flores itu ditemukan saat menggali kedalaman 5,9 meter pada lapisan tanah Plestosen. Dari ukuran tengkorak, diperkirakan volume otak manusia purba itu hanya 417 sentimeter kubik.
Kontroversi
Temuan itu memunculkan kontroversi. Sebagian ilmuwan meragukan bahwa Homo floresiensis atau manusia Flores merupakan manusia yang usianya jauh lebih tua dari manusia modern.
Teuku Jacob, peneliti dari Laboratoriun Bioantropologi dan Paleoantropologi Universitas Gadjah Mada dalam laporan yang diterbitkan National Academy of Science (2006), menyatakan bahwa tulang tengkorak dan kerangka tubuh hobbit mengalami kelainan pertumbuhan dan perkembangan.
Teuku Jacob menulis laporan tersebut bersama peneliti lain, yakni RP Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kenneth Hsu dari National Institute of Earth Science Beijing, DW Frayer dari Departemen Antropologi Universitas Kansas, dan lain-lain.
Seperti dikutip situs Proceeding National Academy of Science, dari 140 kerangka yang diteliti ditemukan bahwa mereka yang terkubur itu mirip dengan populasi Austromelanesia.
Itu berarti Homo floresiensis merupakan nenek moyang manusia modern (Homo sapiens). Rahang bawah dan gigi manusia hobbit menunjukkan kesamaan dengan suku pigmi Rampasasa yang tinggal di sekitar Liang Bua.
Sebagian individu menunjukkan kondisi mikrosefalia atau bertengkorak dan berotak kecil, sebagian lain meski bertubuh kecil tidak mengalami mikrosefalia.
Credit KOMPAS.com