Menurut Raden Wedono Ngabdul Sadak, Sabda Raja yang berlangsung singkat selama 2 menit ini terkait perubahan gelar salah satu putri Sultan, yaitu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun. Pembayun berganti gelar menjadi GKR Mangkubumi.
Kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Yudhohadiningrat yang merupakan Penghageng Tepas Keraton mengatakan, dalam Sabda Raja kali ini Sultan hanya mengeluarkan satu hal. Namun ia tidak merinci apa isi sabda tersebut.
Dalam acara Sabda Raja ini, Sultan mengenakan pakaian kebesaran raja seperti saat Sabda Raja pertama digelar, yakni pakaian warna hitam dan kupluk biru. Permaisuri Sultan, GKR Hemas, juga menggunakan pakaian warna hitam dengan hiasan warna kuning.
Acara tersebut dihadiri keluarga Keraton Pakualaman, permaisuri, dan putri Sultan. Namun tak terlihat kedatangan para adik Sultan. Menurut kabar yang beredar, Sabda Raja itu banyak mendapat penolakan terutama dari saudara-saudara Sultan dari ibu yang berbeda.
Sehari setelah Sabda Raja yang digelar 5 Mei 2015, Sultan pun buka suara mengenai perubahan gelar putri sulungnya dari GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. Gelar baru itu merupakan gelar untuk putri mahkota atau penerus Sultan.
Itu artinya, ini pertama kali dalam sejarah kerajaan keraton Yogyakarta akan dipimpin oleh seorang perempuan.
Raja Keraton Yogyakarta tersebut pun memberi kesempatan kepada adik-adiknya untuk mengomentari Sabda Raja yang dikeluarkannya. Karena mereka tak hadir dalam pembacaan Sabda Raja.
Bahkan Sultan ingin melihat adik-adiknya yang tidak setuju muncul di media massa untuk selanjutnya membahas hal tersebut.
"Biar sekarang yang nggak setuju muncul dulu, saya mau lihat porsinya redaksi ini kira-kira maunya apa, itu aja. Minggu depan kita panggil wartawan," ujar Sultan di Yogyakarta, Rabu (6/5/2015).
Sultan sebelumnya sudah memanggil adik-adiknya untuk menjelaskan pengangkatan putri sulungnya menjadi putri mahkota. Namun para pangeran itu tidak pernah memenuhi panggilan tersebut. Sultan mengaku tidak mengetahui alasan adik-adiknya tak menggubris undangannya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan menghormati keputusan tersebut, meski penerus Kesultanan Yogyakarta merupakan seorang perempuan. "Kita hormati saja," kata JK di Kantor Wapres Jakarta.
Menurut pria yang karib disapa JK itu, pemerintah tidak bisa ikut campur urusan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, terkait perubahan gelar salah satu putri Sri Sultan Hamengku Buwono X, yaitu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun.
"Ini kan, kerajaan (Keraton Yogyakarta) sudah mulai ada pengertian tentang (kesamaan) gender. Kan bagus. Kita tidak bisa campur, itu urusan keraton," ucap JK. Suami Mufidah Kalla menilai, diskriminasi gender sudah seharusnya tidak terjadi lagi. Pria dan perempuan memiliki hak dan peluang yang sama.
"Di Inggris itu perempuan jadi ratu. Masa abad 21 masih ada diskriminasi? Jadi tidak masalah," ujar dia.
Respons senada juga dikemukakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, terhadap Keraton Yogyakarta yang tengah menjadi sorotan pasca-Sabda Raja yang mengubah gelar putri sulung Sultan sebagai pewaris tahta. Ia mewakili pemerintah mengaku enggan terlibat dalam polemik kerajaan tersebut.
"Kemendagri tidak ingin terlibat urusan keluarga. Namanya kakak-adik, kami tidak ingin ikut campur," ujar Tjahjo di Jakarta.
Tjahjo mengaku, sampai saat ini dirinya belum menerima surat resmi dari Sultan terkait sabdanya itu. Meski begitu, kata dia, ada pihak keluarga keraton yang datang menemui dan memintanya mengeluarkan kebijakan sebagai Mendagri.
"Sampai hari ini belum ada surat resmi, tapi soal ada keluarga yang meminta Kemendagri mengeluarkan kebijakan kepada Sultan untuk adanya rapat keluarga," ujar Tjahjo.
Sultan Hamengku Buwono X menggelar Sabda Raja di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Sabda Raja ini merupakan yang pertama sejak Sultan naik tahta pada tahun 1989.
Sebelumnya Sultan HB X memang pernah mengeluarkan Sabda Tama pada Kamis 10 Mei 2012 dan Jumat 6 Maret 2015. Namun kedudukan Sabda Raja lebih tinggi ketimbang Sabda Tama atau Titah Raja.
Sabda Raja yang pertama itu berisi beberapa poin. Pertama, penyebutan Buwono diganti menjadi Bawono. Kedua, gelar Khalifatullah seperti yang tertulis lengkap dalam gelar Sultan dihilangkan.
Gelar lengkapnya adalah Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ketiga, penyebutan kaping sedasa diganti kaping sepuluh. Dengan demikian gelar lengkapnya adalah Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Bawono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Ingkang Jumeneng Kaping Sepuluh Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Keempat, mengubah perjanjian pendiri Mataram yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Kelima, atau terakhir menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun
Credit Liputan6.com