Kamis, 07 Mei 2015

Kecewa pada Sultan, Abdi Dalem Kembalikan Surat Tugas


Dia kecewa karena Sultan menghapus gelar khalifatullah.

Kecewa pada Sultan, Abdi Dalem Kembalikan Surat Tugas
Sri Sultan Hamengku Buwono X (Antara/ Regina Safri)
 
CB - Seorang abdi dalem (orang yang mengabdikan diri kepada keraton dan raja) Keraton Yogyakarta mengembalikan surat kekancingan atau surat penugasan sebagai kawula kepada Kerajaan. Pengembalian itu adalah bentuk pengunduran diri sebagai abdi dalem.
Abdi dalem bernama Kardi itu mengaku kecewa pada Sultan yang menitahkan Sabda Raja yang, di antaranya, menghapus gelar khalifatullah pada nama Raja Yogyakarta. Menurut Kardi, gelar khalifatullah sejatinya bukan sekadar aksesoris, tetapi bermakna pemimpin umat muslim; pemimpin agama, panutan dan pelindung umat dalam menjalankan kehidupan rohani, terutama bagi masyarakat Yogyakarta. Kalau gelar itu dihapus, Raja Yogyakarta tak lagi berkewajiban menjalankan amanat itu.
Kardi, yang bergelar Mas Wedana Nitikartya menyederhanakan Sultan sebagai khalifatullah adalah pengayom umat. "Kalau gelar dihilangkan, siapa lagi yang akan mengayomi kami (rakyat Yogyakarta),” katanya di Yogyakarta, Kamis, 7 Mei 2015.
Dia mengaku secara sukarela mengundurkan diri sebagai abdi dalem dan tak ingin mencampuri internal Keraton. “Namun sebagai abdi dalem, saya kecewa dengan pergantian gelar Sultan. Gelar Sultan tersebut sudah digunakan sejak Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan HB I setelah disahkannya Perjanjian Giyanti,” katanya menjelaskan.
“Penghapusan gelar tersebut, berarti Sultan yang sekarang tidak sah karena namanya tidak sesuai dengan Perjanjian Giyanti.”
Kardi pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Kota Yogyakarta. Dia mendapatkan surat kekancingan dari Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 31 Agustus 2011. Dia mengembalikan surat itu kepada perwakilan Keraton, yakni dua adik Sultan, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Cakraningrat dan GBPH Prabukusumo. Kekancingan itu akan diserahkan Cakraningrat kepada Parentah Hageng.
Gusti Cakraningrat mengatakan bahwa Keraton tak bisa menghalangi atau mencegah keinginan Kardi. Pasalnya, menjadi abdi dalem adalah keinginan Kardi, sebagaimana abdi dalem yang lain.
"Menjadi abdi dalem adalah keinginan dan niat dari mereka. Pengabdian yang besar terhadap Keraton dan Raja mereka. Kami tidak bisa menghalangi kenginan mereka," katanya.



Credit  VIVA.co.id

Adik Sultan Mengaku Tak Diundang di Penobatan Putri Mahkota

Mereka mengetahui Sabda Raja setelah dikabari kerabat di Yogya.

Adik Sultan Mengaku Tak Diundang di Penobatan Putri Mahkota
Sri Sultan Hamengku Buwono X (Antara/ Regina Safri)
 
  CB - Enam adik Sri Sultan Hamengku Buwono X yang bermukim di Jakarta mengaku tak diundang saat Raja Yogyakarta mengeluarkan Sabda Raja pertama pada 30 April 2015. Begitu pula saat Sabda Raja kedua pada 5 Mei 2015, yang menobatkan Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi sebagai Putri Mahkota.

Seorang dari adik Sultan, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Suryodiningrat, mengatakan dia dan lima saudaranya yang bermukim di Jakarta baru mengetahui perihal Sabda Raja itu setelah dikabari kerabat yang berada di Yogyakarta.

"Saat Sabda Raja kami tidak tahu, dan kami tidak mendapat undangan. Soal adanya Sabda Raja kami juga dapat kabar dari kangmas-kangmas (para kakak) di Yogyakarta. Itu pun beberapa jam sebelum Sabda Raja dikeluarkan, jadi kami tidak mungkin datang," katanya di rumah di Ndalem Yudhanegaran atau kediaman GBPH Yudhaningrat di Yogyakarta, Kamis, 7 Mei 2015.

Kelima adik Sultan yang menetap di Jakarta itu adalah GBPH Pakuningrat, GBPH Cokroningrat, GBPH Suryomentaram, GBPH Hadinegoro, dan GBPH Suryonegoro. Mereka dan GBPH Suryodiningrat belum menentukan sikap terkait Sabda Raja.

"Kami berenam masih menunggu penjelasan dari Ngarso Dalem (Sultan). Tadi malam kami sudah dapat penjelasan dari saudara dan kerabat yang di Yogya. Jadi terkait sikap, kami belum bisa menentukan. Pada dasarnya kami semua ingin yang terbaik untuk Keraton dan Keistimewaan Yogyakarta," kata Suryodiningrat.

Enam adik Sultan itu dijadwalkan menghadap sang Raja di Keraton pada Kamis sore. Sultan akan memberikan penjelasan kepada mereka terkait Sabda Raja.


 Credit  VIVA.co.id


Sultan: Saya Tahu Sabda Raja akan Jadi Pro Kontra

Dua sabda yang diumumkan Sultan menuai polemik.

Sultan: Saya Tahu Sabda Raja akan Jadi Pro Kontra
Sri Sultan Hamengku Buwono X. (ANTARA/M Agung Rajasa)
 
  CB - Sabda raja yang dikeluarkan Sultan Hamengkubuwono X menjadi polemik di masyarakat Yogyakarta. Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Yogyakarta itu mengaku sudah memprediksi polemik tersebut akan terjadi di masyarakat, termasuk di internal keraton.

"Itu saya sudah tahu, pasti akan menjadi pro dan kontra," kata Sultan, Kamis 7 Mei 2015.

Sultan juga memprediksi akan banyak masyarakat yang meminta klarifikasi atas sabda raja tersebut.

"Bagi saya berbeda ndak masalah. Mulai besok akan ada masyarakat yang meminta klarifikasi terkait sabda raja," ucapnya.

Sultan mengaku sudah mengundang dua kali adik-adiknya untuk mendengar sabda, namun tidak mau datang.

"Bagaimana saya mau menjelaskan dan bagaimana mereka tahu isi sabda raja, sementara isi sabda yang dimuat di media itu salah," ucapnya.

Sultan mengaku akan mengundang lagi adik-adiknya jika sabda raja sudah selesai dibahas.

"Nanti akan kita undang lagi," katanya.

Ia mengaku tidak mau mengomentari terkait adanya pertemuan adik-adiknya untuk membahas masalah sabda raja. Sultan mengaku akan menggelar jumpa pers terkait masalah ini.

"Bagi saya tidak masalah, pro kontra itu biasa. Tapi, yang jelas, saya selama ini menghindari dengan pers, dengan harapan adik-adik saya tidak tahu, dan komentar mereka salah," tuturnya.

Sabda Raja pertama diterbitkan pada 30 April 2015. Sabda Raja itu memuat lima hal, yakni; pertama, penyebutan Buwono diganti menjadi Bawono; kedua, gelar Khalifatullah seperti yang tertulis lengkap dalam gelar Sultan dihilangkan; ketiga, penyebutan kaping sedasa diganti kaping sepuluh; keempat, mengubah perjanjian pendiri Mataram, yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan; dan kelima, menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.

Titah itu segera disusul Sabda Raja kedua yang dirilis pada 5 Mei 2015. Titah berisi pemberian gelar kepada putri sulung Sultan, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, dengan gelar Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi (selengkapnya ialah Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram).
Credit  VIVA.co.id


Sultan Kritik Balik Adik-adiknya yang Protes Sabda Raja

"Isi sabda yang dimuat di media itu salah."

Sultan Kritik Balik Adik-adiknya yang Protes Sabda Raja
Sri Sultan Hamengku Buwono X (duduk di kursi). (ANTARA)
 
CB - Sri Sultan Hamengku Buwono X mengkritik balik adik-adiknya yang memprotes dua Sabda Raja. Sultan mengaku telah dua kali mengundang adik-adiknya untuk menjelaskan isi titah utama yang dia sabdakan, tetapi tak ada satu pun yang datang.
Sikap menolak hadir itu, kata Sultan, telah menimbulkan kesalahpahaman di kalangan keluarga besar Keraton Yogyakarta. Pasalnya, adik-adik Sultan tak mengetahui persis isi dua Sabda Raja tersebut. Mereka hanya mengetahui isi titah itu dari media massa dan sejauh ini Sultan belum menjelaskan secara detail isi Sabda Raja.
"Bagaimana saya mau menjelaskan dan bagaimana mereka tahu isi Sabda Raja, sementara isi sabda yang dimuat di media itu salah," kata Sultan kepada wartawan di Yogyakarta, Kamis, 7 Mei 2015.
Sultan tak mempermasalahkan pertemuan adik-adiknya yang membahas polemik Sabda Raja. Dia menganggap pro dan kontra itu adalah hal yang wajar. Tetapi pada saatnya nanti Sultan akan menjelaskan secara khusus tentang Sabda Raja itu kepada adik-adiknya.
“Yang jelas, saya selama ini menghindari dengan pers, dengan harapan adik-adik saya tidak tahu (isi Sabda Raja sampai dijelaskan secara langsung), dan komentar mereka salah," katanya menambahkan.
Sultan juga menepis pendapat sebagian kalangan yang menilai Sabda Raja adalah saran dari tokoh spiritual semacam dukun atau paranormal. Sultan secara tegas mengatakan bahwa dia tak pernah meminta saran atau pertimbangan orang luar Keraton, apalagi dukun.
“Saya ini tidak punya dukun,” ujarnya membantah.
Dia hanya mengakui memang mendatangi makam leluhur, terutama tiap akan membuat keputusan penting. Soalnya mendatangi makam leluhur raja-raja Mataram itu adalah perintah ayahnya, Sultan Hamengku Buwono IX, sejak dia kanak-kanak.
“Kami diminta karena beliau (Sultan Hamengku Buwono IX) banyak di Jakarta (sebagai Wakil Presiden Indonesia tahun 1973 sampai 1978). Saya bicara spritual sejak dari dahulu."


 Credit  VIVA.co.id