Kamis, 28 Mei 2015

Long March & Kemenangan Telak Ngurah Rai di Tanah Aron

Overste (Letkol) I Gusti Ngurah Rai yang diabadikan dalam perwujudan patung untuk mengenang heroisme perlawanan terhadap Belanda (Foto: Randy Wirayudha/Okezone)
Overste (Letkol) I Gusti Ngurah Rai yang diabadikan dalam perwujudan patung untuk mengenang heroisme perlawanan terhadap Belanda (Foto: Randy Wirayudha/Okezone)
MENYEBUT (peristiwa) long march, tentu sangat kental dengan sejarah pasukan Divisi Siliwangi yang terpaksa melakukan perjalanan panjang itu kembali ke Jawa Barat, pasca-pasukan Belanda melancarkan Agresi Militer II ke Yogyakarta, 19 Desember 1948.
Namun sebelumnya long march atau perjalanan panjang juga sebelumnya dilakukan pasukan “Ciung Wenara” yang dikomandoi Overste (Letkol) I Gusti Ngurah Rai pada 28 Mei 1946.
Sebelumnya, Ngurah Rai sempat meminta bantuan senjata ke Jawa pada April di tahun yang sama. Alih-alih mendapat yang diinginkan, Markas Besar Tentara memutuskan mengirim pasukan bantuan dari Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).
Sekembalinya ke Bali, Ngurah Rai mengerahkan pasukannya untuk long march ke bagian timur Pulau Dewata itu, demi mengalihkan perhatian Belanda, sekaligus memudahkan kontak dengan Pulau Jawa.
Tentu perjalanan mereka dari Munduk Malang ke Karangasem, tak semulus yang diinginkan. Sejumlah insiden kontak senjata kerap terjadi dengan pasukan NICA (Nederlandsch Indiƫ Civil Administratie), maupun Brigade Gajah Merah. Kontak senjata terbesar sempat terjadi di Tanah Aron, Karangasem dengan pasukan Belanda pada 9 Juli 1946.
Monumen Panca Bhakti Mengenang Perlawanan Prajurit & Rakyat Bali
Seperti dikutip dalam ‘Jurnal Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi’, pasukan Ngurah Rai dengan diperkuat prajurit ALRI yang dipimpin Kapten (Laut) Markadi, menang telak dengan menewaskan 82 tentara NICA dan tak satu pun dari prajuritnya kehilangan nyawa.
Tak lama, pasukan Ngurah Rai melanjutkan long march mereka ke Desa Marga, Tabanan. Kegemilangan pasukannya juga berlanjut setelah mendapat tambahan senjata, usai melucuti Polisi Belanda di Kota Tabanan pada 18 November 1946.
Keesokannya, Ngurah Rai mengumpulkan para perwira lainnya, Kapten I Gusti Wayan Debes, Mayor I Gusti Putu Wisnu serta Kapten Sugianyar dan Wagimin, untuk mengatur siasat jika kembali terjadi kontak senjata dalam skala besar dengan Belanda.
Sementara di pihak Belanda, pasukan dengan persenjataan lengkap diketahui pengintai dari laskar rakyat, bergerak ke sebelah utara dan selatan Desa Marga pada 20 November 1946.
Letusan pistol dari Ngurah Rai sekira pukul 09.00 pagi pun menandai pertempuran dahsyat “Puputan Margarana”. Kendati sekitar 400 tentara NICA tewas, namun Ngurah Rai ikut gugur bersama 96 prajuritnya.
Namun hal itu memicu kemarahan Belanda hingga menyerbu posisi pasukan Ngurah Rai di Desa Marga pada 20 November. Dalam pertempuran dahsyat itu, Ngurah Rai gugur bersama 96 prajuritnya.


Credit  Okezone