Selasa, 26 Mei 2015

Faisal Basri Tuding Hatta Rajasa Biang Keladi Kekacauan Industri Bauksit


 
KOMPAS.com/FABIAN JANUARIUS KUWADO Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri saat mendatangi Bareskrim Polri, Kamis (21/5/2015).


JAKARTA, CB — Pengamat ekonomi Faisal Basri menyebut mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional saat ini. Bahkan, Faisal menilai apa yang dilakukan Hatta saat menjabat sebagai menteri ada kaitannya dengan langkah dia untuk maju dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu.

"Hatta Rajasa biang keladinya. Ini tunjuk nama aja deh biar semua jelas," ujar Faisal Basri dalam acara Kompasiana Seminar Nasional bertema "Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia" di Jakarta, Senin (25/5/2015).

Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu menjelaskan, pada awal 2014 lalu, peranan Hatta Radjasa melarang ekspor mineral mentah (raw material) termasuk bauksit sangat besar. Kata Faisal, berbagai pembahasan aturan pelarangan ekspor bauksit dibahas di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian dengan berbagai menteri terkait.

Akhirnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 terbit pada tanggal 12 Januari 2014.

Faisal menilai, aturan itu membuat industri bauksit nasional hancur lantaran semua perusahaan bauksit tak lagi diperbolehkan mengekspor bauksit yang merupakan bahan mentah pembuatan aluminium.

Menurut Faisal, pelarangan ekspor bauksit itu merupakan permintaan perusahaan aluminium terbesar Rusia, yaitu UC Rusal, yang saat itu berencana menanamkan investasinya di Indonesia untuk membuat pabrik pengolahan bauksit (smelter alumina) di Kalimatan.

Akibat pelarangan ekspor bauksit itu, sebanyak pasokan 40 juta ton bauksit dari industri nasional untuk dunia internasional menghilang. Dampaknya, kata dia, harga alumina Rusal di dunia internasional melonjak.

"Rusal itu tahun 2007 sudah pernah MoU dengan Antam buat smelter, tetapi tidak jadi. Lalu pada 2014 buat lagi MoU dengan Suryo Sulisto. Untuk itu (investasi Rusal), pemerintah dengan gagah berani memenuhi syarat Rusal untuk melarang ekspor. Sekitar 40 juta ton bauksit hilang di pasaran sehingga harga naik dan saham Rusal naik, untungnya ratusan juta dollar," kata Faisal.

Sementara itu, industri bauksit nasional justru kehilangan potensi devisa Rp 17,6 triliun per tahun, penerimaan pajak Rp 4,09 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 595 miliar.

Bahkan, Faisal mengaitkan keuntungan Rusal dan kebijakan pelarangan ekspor bauksit yang dipimpin Hatta Rajasa itu dengan upaya politik. Pasalnya, sebut Faisal, saat itu Hatta Rajasa maju dalam Pilpres 2014 sebagai calon wakil presiden.

"Jadi, sudah nyata yang paling untung itu Rusal. Ini mau pemilu, pilpres, dan Hatta Rajasa menjadi calon wakil presiden," ucap dia.

Sebelumnya, pemerintahan SBY melarang ekspor mineral mentah (raw material). Saat itu, Hatta Rajasa mengatakan bahwa pelarangan ekspor mineral mentah sebagai bentuk pelaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang mewajibkan penambahan nilai tambah pada mineral mentah.



 Credit  KOMPAS.com


Hatta Rajasa Jelaskan soal Tudingan Faisal Basri Terkait Kacaunya Industri Bauksit

 
kompas.com/dani prabowo Ketua Umum DPP PAN Hatta Rajasa

JAKARTA, CB - Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa membantah telah membuat kebijakan melarang ekspor mineral bauksit, seperti yang dituduhkan pengamat ekonomi Faisal Basri. Bahkan, Hatta menilai tudingan Faisal tersebut sebagai fitnah.
"Kali ini saya ingin menjelaskan mengenai fitnah saudara Faisal Basri kepada saya tentang 'Kacau Balau Industri Bauksit Kita'," tulis Hatta akun Twitter-nya, @hattarajasa, Senin (25/5/2015).
Dalam kicauannya itu Hatta merasa perlu menjelaskan kepada masyarakat terkait duduk masalah kebijakan pemerintah saat itu. Dia menjelaskan, pelarangan ekspor mineral mentah merupakan perintah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara. Kebijakan itu lanjut Hatta, harus dijalankan selambat-lambatnya 12 Januari 2014.
Sebagai Menko saat itu, Hatta mengatakan bahwa dia harus memastikan amanat UU Minerba harus dijalankan. Sementara peraturan teknisnya ada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Ketika itu kita banyak mendapat tekanan dari pihak asing agar kita tidak memberlakukan UU tersebut. Namun kita tetap konsisten menjalankan UU," ujar Hatta.
Menurut Hatta, lahirnya UU Minerba, terutama pelarangan ekspor bahan mentah. mendapat dukungan positif. Bahkan, kebijakan pelarangan ekspor tersebut, menurut Hatta, merupakan era baru Indonesia sebagai negara yang tak lagi menjual bahan mentah.
Tudingan Faisal Basri
Sebelumnya, Faisal Basri menyebut Hatta Rajasa sebagai biang keladi kekacauan industri bauksit nasional saat ini. Bahkan, Faisal menilai apa yang dilakukan Hatta saat menjabat sebagai menteri ada kaitannya dengan langkah dia untuk maju dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu. (Baca: Faisal Basri Tuding Hatta Rajasa Biang Keladi Kekacauan Industri Bauksit)
"Hatta Rajasa biang keladinya. Ini tunjuk nama aja deh biar semua jelas," ujar Faisal Basri dalam acara Kompasiana Seminar Nasional bertema "Kondisi Terkini, Harapan dan Tantangan di Masa Depan Industri Pertambangan Bauksit dan Smelter Alumina Indonesia" di Jakarta, Senin (25/5/2015).
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas itu menjelaskan, pada awal 2014 lalu, peranan Hatta Rajasa melarang ekspor mineral mentah (raw material), termasuk bauksit, sangat besar. Kata Faisal, berbagai pembahasan aturan pelarangan ekspor bauksit dibahas di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian dengan berbagai menteri terkait.
Akhirnya, Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 terbit pada tanggal 12 Januari 2014. Faisal menilai, aturan itu membuat industri bauksit nasional hancur lantaran semua perusahaan bauksit tak lagi diperbolehkan mengekspor bauksit yang merupakan bahan mentah pembuatan aluminium.
Menurut Faisal, pelarangan ekspor bauksit itu merupakan permintaan perusahaan aluminium terbesar Rusia, yaitu UC Rusal, yang saat itu berencana menanamkan investasinya di Indonesia untuk membuat pabrik pengolahan bauksit (smelter alumina) di Kalimatan.
Berkat pelarangan itu, pasokan 40 juta ton bauksit dari industri nasional untuk dunia internasional menghilang. Dampaknya, kata Faisal, harga alumina Rusal di dunia internasional melonjak.
"Jadi, sudah nyata yang paling untung itu Rusal. Ini mau pemilu, pilpres, dan Hatta Rajasa menjadi calon wakil presiden," ucap Faisal.



 Credit  KOMPAS.com


Hatta Bantah Larangan Ekspor Bauksit Terkait Pilpres dan "Pesanan" Perusahan Rusia

 
KOMPAS/ALIF ICHWAN Hatta Rajasa, mantan Menko Perekonomian dan mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional.
 
JAKARTA, CB - Mantan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa membantah kebijakan pelarangan ekspor bauksit terkait dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Hatta juga membantah bahwa kebijakan itu merupakan pesanan perusahaan alumunium asal Rusia, UC Rusal, seperti tudingan pengamat ekonomi Faisal Basri.
"Apalagi sampai dikaitkan dengan perusahaan Rusal Rusia. Saya tidak bisa didikte asing untuk kepentingan nasional kita!," tulis Hatta dalam akun Twitter-nya, @hattarajasa, Jakarta, Senin (25/5/2015).
Menurut Hatta, kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah (raw material) merupakan amanah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang harus dijalankan. Bahkan, Hatta mengaku bersyukur karena kebijakan itu merupakan cara menata sumber daya mineral Indonesia dengan tidak lagi menjual bahan tambang dalam bentuk mentah atau belum diolah.
"Saya yakin putra-putri kita mampu mengolah bahan mentah tersebut menjadi produk yang memiliki nilai tambah," tulis Hatta. "Dan itulah salah satu prasyarat untuk kita menjadi bangsa yang mandiri, bangsa yang maju, bangsa yang tidak tergantung bangsa lain," ucap mantan ketua umum PAN itu.
Sebelumnya, dia menjelaskan, pelarangan ekspor mineral mentah merupakan perintah UU No 4 Tahun 2009 yang harus dijalankan selambat-lambatnya 12 Januari 2014. Sebagai Menko saat itu, Hatta mengatakan bahwa dia harus memastikan amanat UU Minerba harus dijalankan. Sementara peraturan teknisnya ada di Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM).
"Ketika itu kita banyak mendapat tekanan dari pihak asing agar kita tidak memberlakukan UU tersebut. Namun kita tetap konsisten menjalankan UU," lanjut Hatta.
Menurut Hatta, lahirnya UU Minerba, terutama pelarangan ekspor bahan mentah mendapat dukungan positif. Bahkan, kebijakan pelarangan ekspor tersebut kata dia, merupakan era baru Indonesia sebagai negara yang tak lagi menjual bahan mineral mentah.


Credit  KOMPAS.com