Rabu, 01 November 2017

Thailand cabut paspor mantan PM Yingluck Shinawatra


Thailand cabut paspor mantan PM Yingluck Shinawatra
Mantan Perdana Menteri Thailand yang dimakzulkan Yingluck Shinawatra mengatupkan tangan saat tiba di Mahkamah Agung untuk sidang kriminal kelalaian atas perannya dalam skema subsidi beras yang dililit utang, di Bangkok, Thailand, Jumat (4/11/2016). (REUTERS/Chaiwat Subprasom)



Bangkok (CB) - Thailand mencabut paspor perdana menteri terguling Yingluck Shinawatra, yang belum secara resmi terlihat di hadapan publik sejak meninggalkan negara itu dua bulan lalu, menjelang hari persidangannya, ujar pejabat pada Selasa.

Sang mantan perdana menteri, yang pemerintahan terpilihnya digulingkan dalam kudeta 2014, dihukum lima tahun penjara secara absentia bulan lalu karena tidak menghentikan korupsi dalam kebijakannya soal beras.

Putusan tersebut dikecam oleh pendukung Yingluck sebagai upaya yang didukung junta untuk menyingkirkannya dari dunia politik selamanya.

"Semua paspor Yingluck dicabut sekarang," ujar Perdana Menteri Thailand Don Pramudwinai kepada wartawan di Bangkok, seperti diwartakan AFP.

"Kami tidak mengetahui keberadaannya, hanya melaporkan bahwa dia berada di Inggris Raya tetapi tidak di kota mana,” tambahnya.

Yingluck memiliki empat paspor Thailand – dua paspor pribadi dan dua paspor diplomatik, ujar otoritas.

Wakil kepala kepolisian Thailand Srivara Ransibrahmanakul mengatakan bahwa otoritas masih berusaha memastikan keberadaan sang mantan perdana menteri saat berusaha mengekstradisinya.





Credit  antaranews.com


PM Thailand Tegaskan Aktivitas Politik Masih Dilarang


Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha.
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha.


CB, BANGKOK -- Pemerintah militer Thailand pada Selasa (31/10) waktu setempat menyatakan belum akan mencabut larangan aktivitas politik, meski pemilihan umum dijadwalkan tahun depan dan tekanan dari partai politik.

Larangan pertemuan partai politik telah dilakukan sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta 2014. Ada seruan dari semua kelompok politik untuk mengakhiri larangan tersebut.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menyebutkan perpecahan politik yang terus-menerus dan rumit menjadi alasan mengapa larangan harus tetap ada. "Kami tidak akan mencabut larangan ini hari ini, tapi jangan frutasi," kata Prayuth usai rapat kabinet pada Selasa (31/10) waktu setempat.

Pada awal bulan ini Prayuth mengatakan Thailand akan mengadakan pemilihan umum pada November 2018. Kabar tersebut disambut oleh sebagian besar investor di negara dengan ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara itu.

Hanya ada sedikit perlawanan terhadap peraturan junta sejak 2014 karena pihak berwenang telah memenjarakan puluhan kritikus. Pemerintah telah mengatakan paartai-partai perlu menunggu keputusan kapan kehidupan politik akan dilanjutkan, sampai setelah pemakaman Raja Thailand Bhumibol Adulyadej dikremasi pada pekan lalu.

Ketegangan memburuk di Thailand sejak 2006 ketika sebuah kudeta terhadap perdana menteri Thaksin Shinawatra. Sejak saat itu, negara tersebut telah menyaksikan pertarungan yangrusuh termasuk demonstrasi jalanan yang mematikan.

Seorang politikus dari partai besar Sunisa Lertpakawat marah karena keputusan untuk tidak mencabut larangan aktivitas politik pada Selasa (31/10) waktu setempat. "Saya ingin junta menunjukkan beberapa ketulusan tentang pemilihan tersebut dengan mencabut larangan itu," kata anggota Partau Puea Thai yang dipimpin Thaksin.




Credit  REPUBLIKA.CO.ID