Rabu, 01 November 2017

Pakar: Filipina Dekati China untuk Pertegas Kedaulatan di LCS


Pakar: Filipina Dekati China untuk Pertegas Kedaulatan di LCS
Sejak Rodrigo Duterte menjabat sebagai presiden, Filipina mendekatkan diri ke China dan malah menjauh dari sekutu lamanya, Amerika Serikat. (Reuters/Erik De Castro)


Jakarta, CB -- Profesor Hubungan Internasional dan Kebijakan China dari Universitas Filipina, Aileen SP Baviera, mengatakan pendekatan Presiden Rodrigo Duterte ke China merupakan strategi Filipina untuk menegaskan wilayah kedaulatannya di Laut China Selatan (LCS).

Baviera menilai kedekatan Filipina dengan China di era Duterte bukan berarti sikap negara itu melemah dalam menghadapi Beijing terkait sengketa di LCS. Ia juga menekankan, kedekatan Duterte dengan China bukan berarti Filipina mengabaikan tuntutannya sendiri ke Pengadilan Arbitrase Tetap (PCA) yang keputusannya tak diakui China karena menolak klaim Beijing di LCS.

“Presiden Duterte saat ini seakan meminta waktu untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan China sebelum mengangkat kembali isu arbitrase LCS tersebut pada waktu yang tepat,” tutur Baviera dalam diskusi Pengembangan Hukum dan Geopolitik Pasca-keputusan PCA dalam Isu LCS, di Jakarta, Selasa (31/10).




Baviera menegaskan ada banyak perbedaan antara pemerintahan Duterte dan pendahulunya, Benigno S Aquino III, dalam menjalankan politik luar negeri Filipina.

Saat Aquino berkuasa, Filipina bersikap cukup keras terhadap China, khususnya mengenai sengketa wilayah di LCS. Filipina pun menjadi satu-satunya negara yang mengajukan gugatan terhadap China soal LCS ke PCA pada 2013.

Namun, sejak Duterte menjabat sebagai orang nomor satu di negara itu, Filipina mendekatkan diri ke China dan malah menjauh dari sekutu lamanya, Amerika Serikat.



Filipina bahkan menyiratkan tanda positif ketika China meminta berdialog setelah PCA menolak semua klaim Beijing di LCS. Sampai saat ini, Duterte pun tak pernah vokal mengangkat isu LCS.

“Hari demi hari Filipina terus mengakomodasi kepentingan China di LCS. Ini membuat sebagian orang heran dan menimbulkan pertanyaan ke mana kebijakan Filipina akan berlabuh. Namun, saya percaya Duterte tahu konsekuensi dari strateginya tersebut,” kata Baiera.

Di tempat yang sama, Profesor Universitas Hosei Jepang, Tetsuo Kotani, pun mengakui bahwa kedekatan Filipina dengan China ini membuat Beijing sedikit melunak dalam menghadapi masalah LCS.


Sejak Duterte mendekati Xi, tutur Kotani, China tak terlalu agresif di LCS karena meski memenangkan gugatan PCA, Filipina tak menjadikan keputusan PCA sebagai instrumen untuk menghilangkan eksistensi China di LCS.

“Kenapa China tidak bersikap terlalu ‘gaduh’ di LCS sejak putusan PCA keluar? Karena Filipina sebagai penggugat, di era Duterte tak mengangkat putusan peradilan itu sebagai senjata untuk melumpuhkan kehadiran China di LCS,” kata Kotani.

Melanjutkan pernyataannya, Kotani berkata, “Meski militerisasi dan pembangunan di LCS tetap berlanjut, sikap China di LCS setidaknya tak seramai dan seagresif saat isu LCS masih diproses PCA. Ini tandanya keputusan PCA dan pendekatan Filipina memliki sedikit pengaruh terhadap China."




Credit  cnnindonesia.com