China masih terus membangun pulau dan kekuatan
militernya di perairan sengketa Laut China Selatan. (Reuters/CSIS Asia
Maritime Transparency Initiative)
Michael mengatakan, saat sengketa LCS diproses di PCA, salah satu hakim dari Jepang yakni Shunji Yanai menjabat sebagai presiden International Tribunal for the Law of The Sea (ITLOS), yang bertugas memutus perkara.
Sementara itu, China dan Jepang memiliki riwayat sejarah yang tidak mulus, di mana Beijing menganggap Tokyo sebagai salah satu rival di kawasan.
“Keputusan PCA keluar di waktu yang salah karena saat itu seorang hakim dari Jepang duduk sebagai presiden dalam lembaga PCA. China menganggap peran [hakim asal Jepang] itu bias dalam proses arbitrase,” kata Michael dalam diskusi bertema Pengembangan Hukum dan Geopolitik Pasca-keputusan PCA dalam Isu LCS di Jakarta, Selasa (31/10).
|
Sengketa Laut China Selatan ini diajukan ke PCA oleh Filipina pada 2013 lalu untuk menentang klaim China di perairan itu, yang juga tumpang tindih dengan sejumlah negara lainnya di Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, Brunei.
Menurut Michael, pengajuan arbitrase ini pun tidak sah dan kurang bijaksana karena dilakukan secara sepihak tanpa berdiskusi dengan China.
Michael mengatakan, suatu sengketa bisa dibawa ke pengadilan arbitrase jika ada kesepakatan dari pihak berkonflik yang dalam hal ini adalah negara.
“Dari awal isu LCS ini salah, karena Filipina tidak pernah berdiskusi dengan China sebelum Manila berinisiatif membawa masalah ini ke PCA,” kata Michael.
|
“Hukum internasional itu masih seperti hukum rimba, [negara] yang kuat yang bisa melaksanakan dan menentukan. Kita kan tahu sendiri dalam hal LCS, keputusan PCA menguntungkan negara-negara kecil sehingga sulit untuk mendorong negara besar [China] untuk mematuhinya,” ujar Hikmahanto.
Lebih lanjut, dia berharap China mau mematuhi keputusan PCA dengan melunakkan sikap agresif terhadap klaimnya di LCS demi membangun rasa percaya negara di Asia Tenggara.
“Saya harap China mau ikut keputusan PCA untuk beri contoh kepada negara di kawasan dan negara besar lain seperti Amerika Serikat—rivalnya di kawasan—bahwa sebagai emerging power, China tunduk dengan hukum internasional,” kata Hikmahanto.
Credit cnnindonesia.com