Jumat, 06 November 2015

Pemilu Tak Punya Arti bagi Muslim Myanmar



Pemilu Tak Punya Arti bagi Muslim Myanmar 
 Muslim Kaman dan Rohingya yang berada di kamp pengungsi dilarang melakukan kegiatan di luar kamp tanpa ijin pihak berwenang. (Reuters/Soe Zeya Tun)
 
 
Sittwe, Myanmar, CB -- Di kamp pengungsi di pinggiran Sittwe, ibukota provinsi Rakhine, Soe Hlaing memegang satu kartu berwarna merah muda. Kartu yang paling penting dari berbagai dokumen kependudukan karena menunjukkan status kewarganegaraan.

Status ini memberi Soe Hlaing hak untuk memilih dalam pemilu bersejarah pada Minggu (8/11) nanti.

Tetapi Muslim berusia 44 tahun ini mengatakan tidak akan mempergunakan haknya itu sebagai protes atas penolakan pengakuan pemerintah Myanmar kepada sebagian besar dari 1,1 juta Muslim Rohingya di negara itu.

Soe Hlaing adalah Muslim Kaman, bukan Rohingya.


Kaman adalah salah satu dari 135 kelompok etnis yang diakui oleh pemerintah Myanmar. Mereka berhak mendapatkan kewarganegaraan sejak lahir, tidak seperti warga Rohingya.

Tetapi Soe Hlaing terpaksa tinggal di kamp pengungsi bersama dengan warga Rohingya akibat kekerasan anti-Muslim brutal pada 2012.

Sejak tinggal di kamp itu, pihak berwenang menerapkan pembatasan pergerakan Soe Hlaing seperti yang telah diterapkan kepada warga Rohingya.

“Kecuali semua orang bisa ikut memilih, saya tidak akan memberi suara,” ujarnya ketika ditemui di kamp Ohn Daw Gyi.

Dia menambahkan istrinya pun juga memutuskan untuk tidak memberi suara pada pemilu nanti.

Nasib penduduk minoritas Muslim ini menjadi aib dalam pemilihan umum yang dipandang sebagai pemilu bebas dan adil pertama Myanmar dalam 25 tahun tersebut.

Liga Nasional bagi Demokrasi, NLD, yang beroposisi, diperkirakan akan mendapat suara tinggi dalam pemilu. Kemenangan NLD dinilai akan menjadi titik bersejarah bagi reformasi politik di Myanmar.

Banyak biksu Buddha radikal yang memicu ketegangan anti-Muslim menjelang pemilu dan NLD sendiri tidak mengajukan bakal calon Muslim karena takut diintimidasi.

Jumlah bakal calon anggota legislatif dari warga Muslim tidak banyak, meskipun jumlahnya mencapai sekitar lima persen dari 51 juta penduduk Myanmar.

Ketua komisi pemilu Myanmar, Aung Myat, mengatakan bahwa hanya sekitar 150 orang dari 100 ribu Muslim yang tinggal di 20 kamp pengungsi di dekat Sittwe yang memiliki hak pilih.

Data PBB menunjukkan sekitar 2.000 warga Kaman terperangkap di kamp-kamp pengungsi Rakhine setelah kekerasan anti-Muslim pada 2012.

Meski tidak ada data pasti terkait populasi Kaman di Myanmar, ribuan anggota kelompok etnis ini tinggal di negara bagian Rakhine.

“Ini penegasan yang menyedihkan bahwa perasaan anti-Muslim memang meluas dan tidak hanya pada kaum Rohingya,” kata David Mathieson, peneliti senior masalah Myanmar dari kelompok Human Rights Watch.

 
Banyak Muslim dari kelompok etnis selain Rohingya memutuskan untuk tidak memberi suara karena diskriminasi terhadap umat Muslim. (Reuters/Soe Zeya Tun)
Sampai Februari lalu banyak warga Rohingya yang memiliki dokumen kewarganegaraan sementara, dikenal dengan nama kartu putih. Kala itu Presiden Thein Sein secara mendadak mengumumkan kartu itu tidak berlaku lagi.

Langkah ini membuat warga Rohingya kehilangan hak pilih. Banyak bakal calon anggota legislatif Muslim didiskualifikasi.

Partai Nasional Arakan, ANP, satu organisai warga Buddha Rakhine yang kuat, bersikeras bahwa Rohingya adalah pendatang gelap dari Bangladesh meskipun sebagian besar sudah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.

Kelompok ini memimpin upaya mendorong pemerintah nasional untuk mengucilkan Rohingya, satu langkah yang disesalkan oleh PBB.

“Saya sangat kecewa dengan langkah pengucilan Rohingya dan masyarakat minoritas lain,” kata Sekjen PBB Ban Ki-moon. “Menghalangi bakal calon anggota parlemen dari masyarakat Rohingya untuk mencalonkan diri kembali sangat buruk.”

Bagi banyak warga Rohingya yang dulu memiliki hak pilih, kehilangan hak itu adalah langkah paling akhir dari upaya pencabutan hak-hak dasar mereka.

Untuk keluar dari kamp atau desa-desa tertutup yang menjadi tempat tinggal mereka, bahkan untuk pergi ke fasilitas medis yang lebih lengkap sekalipun, mereka harus mendapat ijin dari pihak berwenang.

“Hidup kami hancur,” kata Abdul Shakur, seorang warga Rohingya yang bekerja sebagai petani sebelum dipindahkan ke Ohn Daw Gyi.

“Bagaimana anak-anak kami bisa hidup bebas di negara ini?” kata Gyi yang memiliki hak suara pada pemilu 1990 dan 2010.

Pemimpin NLD Aung San Suu Kyi menghindari Sittwe dan kamp-kamp pengungsi.

 
Warga Muslim Myanmar berharap pemerintah pimpinan partai oposisi NLD akan membawa perubahan bagi kehidupan mereka. (Reuters/Soe Zeya Tun)
Dia pun tidak banyak memberi pernyataan terkait masalah pembatasan kebebasan bagi kelompok Kaman dan Rohingya.

Meski demikian, Soe Hlaing dan teman-temannya berharap pemerintah pimpinan NLD bisa memberi kesempatan untuk setidaknya pulang ke rumah mereka.

“Sebelum kekerasan itu kami memberi suara pada USDP (Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan yang berkuasa),” kata Soe Hlaing.

“Tetapi mereka tidak melindungi kami sama sekali.”



 Credit  CNN Indonesia