Pesawat tanpa awak (drone) milik militer
Amerika Serikat, TwinHawk, Scout, Flanker, and Hawkeye 400, ditampilkan
saat acara Black Dart, uji terbang dari 55 kendaraan udara tak berawak,
di Naval Base Ventura County Sea Range, California, 1 Agustus 2015.
REUTERS/Patrick T. Fallon
"Unmanned Aerial System atau Drone ini cocok untuk kepentingan riset," kata Fatwa, Senin 2 November 2015.
Dia menjelaskan, pesawat tanpa awak bikiannya itu didesain untuk observasi permukaan, terutama untuk kepentingan survei dan pemetaan. Data yang terekam terjamin akurasinya karena memiliki georeferensi atau sistem koordinat. "Data bisa langsung terkoneksi dengan satelit GPS," kata dia.
GEO terbang sesuai jalur dan mendarat di koordinat yang ditentukan, secara autopilot. Itu bisa dilakukannya setelah seluruh data dan rute penerbangan diinput ke sistem. Jalur penerbangan menjadi sesuai dengan program yang dibuat.
Pesawat tanpa awak cocok untuk pemetaan dan observasi di kawasan perkebunan dan pertambangan. Fatwa mencontohkan aplikasi yang sudah dilakukannya bersama GEO dalam menghitung 40 ribu pohon di sebuah perkebunan sawit. Hasilnya penghitungan dapat dilakukan dalam tempo 60 detik.
Atas ciptaannya itu, Fatwa dan tim Geoinformatics Research Center menerima penghargaan International Geospatial Excellence Award di ajang Geo Smart Asia di Malaysia, 20 September 2015.
Saat ini, Fatwa dan timnya juga merancang Walet yakni drone yang berfungsi untuk dokumentasi foto dan video udara. Drone karyanya mampu terbang dalam kondisi cuaca ekstrem, seperti hujan dan angin kencang.
Credit TEMPO.CO