Kepala CIA, John Brennan memaparkan
ISIS mungkin saja sudah menyiapkan serangan lain, pasca serangan di enam
titik jantung kota Paris pekan lalu. (Reuters/Larry Downing)
Tahun ini, Perancis diguncang sejumlah aksi teror yang diklaim oleh ISIS, termasuk serangan di kantor majalah satire Charlie Hebdo pada Januari lalu.
"Banyak mitra kami sekarang di Eropa menghadapi banyak tantangan dalam mengawasi banyak individu yang telah melakukan perjalanan ke Suriah dan Irak dan kembali lagi," kata Brennan di Washington, Senin (16/11).
Komentar ini dilontarkan Brennan bersamaan dengan pengepungan besar-besaran dari polisi Perancis ke sejumlah wilayah di Belgia untuk memburu para tersangka serangan yang menewaskan 132 orang dan melukai lebih dari 300 lainnya.
Brennan memaparkan bahwa intelijen AS hingga kini masih belum mengkonfirmasi bahwa ISIS merupakan dalang dari serangan yang dilakukan secara bersamaan di gedung konser, stadion sepak bola, bar dan sejumlah restoran itu.
Meski demikian, Brennan menilai bahwa teror di Perancis dan jatuhnya pesawat Rusia di Mesir yang diduga dibom, merupakan tipe serangan dari kelompok ekstremis.
ISIS, menurut Brennan, nampaknya telah berhasil membentuk cabang operasi eksternal di sejumlah negara, yang saat ini, mungkin saja tengah menyiapkan serangan susulan setelah teror di Paris.
"Saya mengantisipasi bahwa ini bukan satu-satunya operasi yang diluncurkan ISIS, dan badan intelijen dan keamanan di Eropa dan tempat lain kini bekerja keras untuk melihat apa yang bisa mereka lakukan untuk mencegah hal ini," ujar Brennan.
Perencanaan yang matang untuk serangan Paris, lanjut Brennan, diyakini telah terjadi selama beberapa bulan "untuk memastikan mereka memiliki kerja sama, senjata, bahan peledak, dan bom bunuh diri," kata Brennan.
Brennan memaparkan bahwa serangan di Paris tidak mengejutkan intelijen AS yang telah memperingatkan bahwa ISIS berencana untuk menyerang suatu tempat di luar Timur Tengah, terutama di Eropa.
"Saya merasa (serangan di Paris) bukan satu-satunya serangan yang akan diluncurkan," katanya.
Pelacakan para ekstremis
Brennan memaparkan salah satu masalah utama dalam mengantisipasi serangan adalah beban besar pelacakan para ekstremis yang kembali ke Eropa, sementara sumber daya intelijen Eropa terbatas.
Pejabat Eropa memperkirakan sebanyak 5.000 warga dari berbagai negara di Eropa berangkat ke Suriah sejak 2011 untuk bergabung bersama kelompok militan. Diperkirakan, sekitar 1.400 warga Perancis telah pergi ke Suriah, sebanyak 900 di antaranya telah kembali ke Perancis.
Selain itu, sekitar 10.000 hingga 20.000 orang ditandai oleh otoritas Perancis sebagai orang berpotensi menjadi ekstremis, di bawah prosedur "S Notice," menurut ahli kontraterorisme Perancis, Roland Jacquard.
"Kami berada dalam situasi di mana kami kewalahan. Mereka mengantisipasi serangan terjadi, tetapi tidak tahu di mana serangan itu akan terjadi dan mereka di bawah tekanan," ujar Nathalie Goulet, kepala penyelidikan Senat Perancis ke jaringan jihad.
Pemerintah Belgia sendiri berusaha untuk melacak lebih dari 70 orang yang kembali dari Suriah. Para pejabat memperkirakan sekitar 350 warga negara Belgia pergi ke Suriah untuk bergabung dengan militan.
Para pejabat AS dan Eropa mengatakan bahwa puluhan petugas intelijen harus bekerja sepanjang waktu untuk menjaga para terduga ekstremis di bawah pengawasan penuh waktu.
Setidaknya terdapat dua tersangka serangan di Paris yang sebelumnya sudah ditandai oleh intelijen Eropa dan AS sebelum serangan teror terjadi.
Seorang pria Belgia yang diduga mendalangi serangan, Abdelhamid Abaaoud, diidentifikasi di New York Times pada bulan Januari sebagai tersangka utama dalam komplotan yang gagal menyerang sejumlah target di Brussels. Dia juga dikenal agen mata-mata AS, kata sumber pemerintah AS.
Credit CNN Indonesia