CB - Ada kejutan pada malam pembukaan pameran ”Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga Kini” di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis (5/2/2015). Tongkat pusaka Sang Pangeran dipulangkan dari Belanda ke Indonesia.
Pengembalian tongkat itu mengejutkan karena benda tersebut sudah 181 tahun disimpan salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien Baud (1833-1834). ”Saya juga tidak diberi tahu sebelumnya kalau ada penyerahan pusaka tongkat Pangeran Diponegoro pada acara pembukaan ini,” kata Kepala Galeri Nasional Tubagus ”Andre” Sukmana.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan meresmikan pembukaan pameran yang dijadwalkan berlangsung hingga 8 Maret 2015 itu. Terkait pengembalian tongkat, Anies mengucapkan terima kasih. ”Atas nama pemerintah dan rakyat Indonesia, kami berterima kasih kepada keluarga Baud yang telah menyimpan dengan baik dan memulangkan pusaka tongkat Diponegoro ini kembali ke Pulau Jawa,” katanya.
Pengembalian tongkat Diponegoro (1785-1855) juga disambut meriah para seniman, budayawan, dan pemerhati sejarah yang hadir di Galeri Nasional. Benda itu selanjutnya disimpan di Museum Nasional sebagai artefak penting milik negara dan rakyat Indonesia.
Sejarah tongkat
Bagaimana sebenarnya kisah tongkat itu? Menurut ahli sejarah Diponegoro asal Inggris, Peter Carey, tongkat tersebut diperoleh Pangeran dari warga pada sekitar tahun 1815. Tongkat itu lantas digunakan semasa menjalani ziarah di daerah Jawa selatan, terutama di Yogyakarta. Itu terjadi sebelum Diponegoro mengobarkan perang terhadap Hindia Belanda pada 1825-1830.
”Penyerahan (tongkat itu ke Indonesia) dirahasiakan sesuai permintaan keluarga yang menyimpan pusaka tongkat Diponegoro tersebut di Belanda,” kata Peter, yang juga menjadi salah satu kurator pameran, selain Werner Kraus (Jerman) dan Jim Supangkat (Indonesia).
Michiel Baud mewakili keluarga besar keturunan JC Baud menyerahkan pusaka tongkat ziarah Diponegoro kepada Anies Baswedan.
JC Baud menerima tongkat ziarah Diponegoro, yang juga disebut tongkat Kanjeng Kiai Tjokro, dari Pangeran Adipati Notoprojo. Notoprojo adalah cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang.
Notoprojo dikenal sebagai sekutu politik bagi Hindia Belanda. Ia pula yang membujuk salah satu panglima pasukan Diponegoro, Ali Basah Sentot Prawirodirjo, untuk menyerahkan diri kepada pasukan Hindia Belanda pada 16 Oktober 1829.
Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro dipersembahkan Notoprojo kepada JC Baud saat inspeksi pertama di Jawa Tengah pada musim kemarau tahun 1834. Kemungkinan Notoprojo berusaha mengambil hati penguasa kolonial Hindia Belanda. Sejak 1834, Baud dan keturunannya di Belanda merawat tongkat ziarah Diponegoro itu sampai Kamis malam lalu dipulangkan kembali ke Tanah Air.
Berdasarkan penelusuran Peter Carey, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro menjadi artefak spiritual sangat penting bagi Diponegoro, terutama dari simbol cakra di ujung atas tongkat sepanjang 153 sentimeter itu. Berdasarkan mitologi Jawa, cakra sering digambarkan digenggam Dewa Wisnu pada inkarnasinya yang ketujuh sebagai penguasa dunia.
”Sesuai mitologi Jawa, tongkat tersebut dikaitkan dengan kedatangan Sang Ratu Adil atau Erucakra,” kata Peter.
Diponegoro kemudian menganggap perjuangannya sebagai perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa. Perang juga dianggap sebagai pemulihan keseimbangan masyarakat.
”Panji pertempuran Diponegoro menggunakan simbol cakra dengan panah yang menyilang,” kata Peter.
Kurator dari Rijks Museum Belanda, Harm Stevens, juga meneliti tongkat itu selama beberapa bulan terakhir. ”Saya telah mencocokkan dengan petunjuk-petunjuk yang ada. Benar kalau tongkat itu milik Pangeran Diponegoro,” katanya.
Tombak, pelana, jubah
Selain tongkat ziarah, pameran juga menghadirkan benda-benda bersejarah Pangeran Diponegoro yang lain. Sebut saja tombak Rondhan dan pelana kuda, yang sebelumnya juga berada di Belanda. Artefak-artefak itu diperoleh ketika pasukan gerak cepat Hindia Belanda, yang dipimpin Mayor AV Michiels, menyergap Diponegoro pada 11 November 1829.
Diponegoro berhasil meloloskan diri. Namun, tombak Rondhan, peti pakaian, kuda, dan barang berharga lain tidak dibawa serta. Pasukan penjajah merampas dan menyerahkan artefak berharga tersebut kepada Raja Belanda Willem I (yang bertakhta tahun 1813-1840). Pada tahun 1978, Ratu Belanda Juliana mengembalikan tombak Rondhan dan pelana kuda itu ke Indonesia.
Pelana kuda itu menyimpan kisah Diponegoro sebagai penunggang kuda hebat. Dia memiliki istal luas di kediamannya di Tegalrejo. Kuda hitam dengan kaki putih bernama Kiai Gentayu dianggap sebagai pusaka hidup Sang Pangeran.
Sebenarnya Diponegoro juga mewariskan jubah Perang Sabil. Sayangnya, jubah berbahan sutra shantung dan cinde berukuran 200 X 100 sentimeter tersebut tidak ikut dipamerkan. Benda tersebut tetap berada di Museum Bakorwil II Magelang.
Kisah di balik jubah itu juga menarik. Jubah tersebut dirampas saat penyergapan oleh Mayor AV Michiels di wilayah pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, 11 November 1829. Setelah perang, jubah dengan tepi brokat yang konon dijahit oleh gundunya disimpan putra menantu Basah Ngabdulkamil. Selama lebih seabad keluarga Diponegoro menyimpan jubah itu dan dipinjamkan permanen pada tahun 1970-an kepada Museum Bakorwil II.
Penangkapan Diponegoro
Benda bersejarah lain yang menarik perhatian pengunjung dalam pameran ini adalah lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro”. Karya ini dipamerkan bersama karya seni rupa dari 21 perupa Indonesia.
Kurator Jim Supangkat mengatakan, lukisan itu dibuat pada 1856-1857 berdekatan dengan wafatnya Diponegoro di pembuangan pada 8 Januari 1855. Karya itu dihadiahkan kepada Raja Belanda Willem III (1817-1890). Pada tahun 1978, Ratu Juliana mengembalikan lukisan kepada Indonesia.
Sebenarnya lukisan itu mengandung kritik tersembunyi. Raden Saleh mencela siasat tak etis pada penangkapan Diponegoro dan kebohongan lukisan Nicolaas Pieneman dengan tema sama tahun 1835. Dari yang sekarang terungkap dari lukisan itu, kita juga mengetahui bahwa berita penangkapan Diponegoro tersebar ke Eropa.
Selain lukisan penangkapan, ditampilkan juga dua lukisan lain karya Raden Saleh, yaitu ”Harimau Minum” (1863), dan ”Patroli Tentara Belanda di Gunung Merapi dan Merbabu” (1871). Lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro” dan ”Harimau Minum” adalah koleksi Istana Negara, sedangkan ”Patroli Tentara Belanda di Gunung Merapi dan Merbabu” koleksi pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Ketiga karya itu direstorasi ahli dari Jerman pada tahun 2013 atas prakarsa Yayasan Arsari Djojohadikusumo.
Semua benda dalam pameran ”Aku Diponegoro” berhasil menghidupkan kembali kenangan akan sosok pahlawan itu. Memasuki ruang pameran, lingkaran sejarah serasa berulang.
Anies Baswedan mengapresiasi pergelaran ini sebagai usaha untuk membangkitkan kesadaran terhadap sejarah, figur, dan peran Diponegoro dalam melawan penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan masyarakat saat itu. Narasi perjuangan itu diharapkan terus hidup dan menular kepada generasi muda Indonesia dari masa ke masa.
Credit KOMPAS.com