Kamis, 09 April 2015

Hukuman Mati Tak Pengaruhi Kunjungan Turis Australia ke Bali

Bali adalah rumah kedua bagi warga Australia.

Hukuman Mati Tak Pengaruhi Kunjungan Turis Australia ke Bali
Turis Australia jajal naik becak di National Multicultural Festival 2015 di Canberra, Australia.  (KBRI Canberra)
 
CB - Duta Besar RI untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema, mengatakan bahwa isu pelaksanaan hukuman mati terhadap dua gembong narkoba, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan tidak berpengaruh terhadap kunjungan wisatawan Negeri Kanguru ke Bali.
Untuk menguatkan pernyataan itu, Nadjib mengaku telah berkomunikasi dengan Wakil Presiden maskapai Garuda Indonesia di Australia dan di kawasan Pasifik.

Hal itu diungkap Nadjib, ketika ditemui secara khusus oleh VIVA.co.id beberapa waktu lalu di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat . Mantan Dubes RI untuk Kerajaan Belgia dan Uni Eropa itu menyebut tidak ada penurunan kunjungan sama sekali.

"Kemarin, saya naik Garuda dari Australia, baik kelas ekonomi maupun bisnisnya tetap penuh," kata dia.

Nadjib menyebut, memang ada satu, atau dua orang yang membatalkan kunjungan ke Bali, tetapi bukan karena alasan itu (pelaksaan hukuman mati). Bahkan, bagi warga Australia, Nadjib mengatakan, Pulau Bali sudah seperti rumah kedua.

"Mereka kan memang sudah lama mengenal Pulau Bali. Dengan anggaran yang terbatas, mereka bisa mendapatkan banyak hal di Bali," tambah Nadjib.

Bagi warga Australia yang bermukim di daerah barat, mereka lebih memilih ke Bali, ketimbang harus ke Gold Coast di Brisbane. Sebab, selain waktu tempuh yang lebih pendek, Pulau Bali bagi turis Australia menawarkan suasana lebih nyaman dan biaya yang lebih murah.

"Sebagai contoh, lama perjalanan dari Perth menuju ke Gold Coast dibutuhkan waktu 5,5 jam. Sedangkan untuk ke Bali, hanya butuh waktu dua jam dan 50 menit. Harga tiket penerbangan jika dipesan dari jauh hari, bolak-balik, bisa dibeli dengan harga hanya AUD30, atau setara Rp2,9 juta," ujar Nadjib.

Maka tak heran, jika musim berlibur tiba, warga Australia berbondong-bondong mengunjungi Bali. Setiap tahun, Kementerian Pariwisata mencatat 1,1 juta warga Australia setiap tahun datang ke Pulau Bali dan tidak ada penurunan.

"Jika kunjungan ini terus stabil, diprediksi Pulau Bali akan mengambil tempat Selandia Baru sebagai tempat tujuan pariwisata favorit warga Australia. Saat ini, jumlah kunjungan turis ke Selandia Baru mencapai 1,3 juta. Jadi, perbedaannya tipis," kata dia.

Dia melanjutkan, Bali bisa mengambil alih tempat Selandia Baru hanya dalam waktu tiga tahun. Pariwisata di Selandia Baru, Nadjib menjelaskan hanya bisa dilakukan saat musim panas tiba.

"Sementara itu, ketika musim dingin, suhu udara tidak memadai," imbuhnya.

Selain mempromosikan Pulau Bali yang notabene telah dikenal oleh warga Australia, Nadjib juga mengenalkan tujuan pariwisata lainnya di Indonesia. Nadjib mengatakan, selain ke Bali, warga Negeri Kanguru juga berkunjung ke Pulau Lombok, Jawa Timur, dan Yogyakarta.

"Kami juga kerap mengatakan Yogyakarta adalah tempat bertemunya budaya dari wilayah lain. Sebab itu, mereka juga mulai menyukai Yogyakarta," tuturnya.

Jelang eksekusi mati terhadap Chan dan Sukumaran, Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop secara implisit seolah menyerukan ajakan kepada warganya, agar memboikot perjalanan mereka ke Indonesia, khususnya Pulau Bali.

"Saya pikir, orang Australia akan mendemonstrasikan ketidaksetujuan mereka (pada eksekusi mati) dengan membuat keputusan tentang ke mana mereka ingin berlibur," kata Bishop, seperti dikutip stasiun berita Channel News Asia pada pertengahan Februari lalu.

Bahkan, ajakan itu mulai merambah ke dunia maya dan muncul tagar #BoycottBali. Ajakan itu, kemudian memunculkan reaksi keras dari warga Bali. Salah satunya datang dari band punk rock Superman Is Dead (SID) yang berasal dari Bali. Mereka menilai ajakan itu berlebihan.

Melalui akun Facebooknya, SID menyebut pariwisata tetap bisa hidup tanpa kedatangan warga Australia.

Sementara itu, salah satu warga Australia, Anthony Dennis menyayangkan ajakan boikot Bali. Dia malah mempertanyakan mengapa Bali yang harus menjadi korban dari kebijakan pemerintah pusat yang ada di Jakarta.

Credit  VIVA.co.id