Senin, 08 Desember 2014
Tiga Tahun, Sektor Tambang Rugikan Negara Rp 4,6 T
Truk mengangkut nikel mentah dari pertambangan di Sorowako, Sulawesi (8/1). Akibat kebijakan larangan ekspor ini membuat resiko investasi di sektor peleburan dan pengilangan nikel yang mahal menjadi semakin tinggi. REUTERS/Yusuf Ahmad
CB , Jakarta:Koalisi anti-mafia tambang mengatakan merintah menanggung kerugian hingga Rp 4,6 triliun rupiah dari kekurangan pembayaran iuran tetap dan royalti perusahaan tambang sepanjang 2010-2013. "Hal ini menunjukan masih lemahnya tata kelola sistem perizinan pertambangan di Indonesia," ujar Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah, Ahad, 7 Desember 204.
Perhitungan itu berdasarkan data yang diolah oleh lembaga tersebut. Kerugian antara lain dari hasil rekapitulasi data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara di 12 provinsi, ditemukan potensi kerugian negara dari kekurangan bayar 4.631 IUP (Izin Usaha Pertambangan) hingga Rp 3,768 triliun.
Selain itu ada pula potensi kerugian negara dari penyewaan lahan di 12 provinsi sehingga berpotensi menimbulkan kerugian sebesar Rp 919,18 miliar. Dari angka itu, tiga provinsi diantaranya memiliki potensi kerugian cukup besar, yakni Kalimantan sebesar Rp 754,94 miliar, Sumatera Rp 174,7 miliar, Sulawesi dan Maluku sebesar Rp 169,5 miliar.
Maryati menilai inistiatif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan koodinasi dan supervisi (Korsup) di bidang mineral dan batubara (minerba) di 12 provinsi beberapa waktu lalu, berjalan lamban. Dia mendesak Presiden Joko Widodo turun langsung ke lokasi pertambangan.
Dengan kondisi itu, lembaga itu mengeluarkan petisi #blusukantambang, kepada Jokowi dan jajaran pemerintah. Mereka mendesak pemerintah menghentikan operasional pertambangan di kawasan konservasi dan kawasan lindung, serta meminta KPK untuk menyelidiki dugaan korupsi dalam pemberian izin."Kalau Menteri Susi saja bisa meledakkan kapal pencuri ikan, sehingga menekan ekspor ikan illegal, pemerintah harusnya bisa blusukan tambang untuk menekan ekpsor pertambangan illegal," ujarnya.
Credit TEMPO.CO