Jumat, 26 Desember 2014

Menanti Kebangkitan Maritim Indonesia



Ilustrasi. Antara/M Risyal Hidayat



CB, Jakarta: “Nenek moyangku orang pelaut. Gemar mengarung luas samudra. Menerjang ombak tiada takut. Menempuh badai sudah biasa”.

Sekilas lirik lagu anak-anak tersebut terkesan tanpa makna. Tapi jika kita pahami lebih lanjut, di setiap pilihan kata tersebut menyiratkan bahwa Indonesia memang dikenal sebagai negara maritim sejak dulu kala.

Bagaimana tidak, Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia (± 81.000 km) yang menjadikan Indonesia menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Kekuatan inilah yang mestinya merupakan potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia.

Pengembangan ekonomi kelautan mestinya dijadikan sebagai prime mover pembangunan ekonomi. Pengembangan ekonomi kelautan dengan "menguasai laut" diarahkan pada upaya mengedepankan pembangunan ekonomi berbasis  sumber daya kelautan (ocean based resource).

Mengoptimalkan nilai tambah ekonomi sumber daya kelautan yang ada diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia, dengan didukung oleh pilar-pilar ekonomi berbasis daratan (land based economy). Aktivitas ekonomi di pesisir, laut, dan lautan sebagai ekonomi kelautan (ocean economy), perlu terus dioptimalkan nilai tambah ekonominya, antara lain dengan fokus pada sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri kelautan/maritim, transportasi laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan.

Pengembangan sektor tersebut sangat diperlukan mengingat besarnya potensi ekonomi maritim yang kita miliki, diperkirakan minimal sebesar USD171 miliar per tahun (Dekin, 2013). Namun ironisnya potensi tersebut ibarat "raksasa yang sedang tidur", belum dimanfaatkan secara optimal  nilai tambah ekonominya dalam pembangunan nasional. Potensi kekayaan pesisir dan laut juga belum menjadi basis ekonomi bagi pembangunan nasional, ditandai masih relatif belum berkembangnya kontribusi ekonomi bidang kelautan dalam produk domestik bruto (PDB) nasional.

Hingga kini kontribusi seluruh sektor kelautan terhadap PDB hanya sekitar 20 persen. Padahal negara-negara dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Islandia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Thailand dan Tiongkok,  kontribusi bidang kelautannya rata-rata sudah di atas 30 persen PDB. Pengalaman berharga negara Republik Rakyat Tiongkok dalam memacu pertumbuhan ekonomi setidaknya dapat dijadikan pelajaran berharga tentunya dengan modifikasi sesuai dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia.

Ekonomi kelautan menjadi salah satu pilar kemajuan ekonomi Tiongkok, sejak awal diberlakukannya sistem ekonomi pasar dan modernisasi Tiongkok oleh Presiden Deng Xiaoping pada 1979, orientasi pembangunan kelautan menjadi platform pembangunan Negeri Tirai Bambu tersebut. Pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan kawasan ekonomi khusus secara masif dan kolosal diawali dari wilayah pesisir, mulai pantai selatan seperti Kota Shenzhen dan Guangzhou hingga pantai utara seperti Shanghai dan Dalian.

Pelabuhan laut kelas dunia, industri galangan kapal, elektronik, automotif, IT, perikanan tangkap, budi daya laut, bioteknologi kelautan, dan beragam industri lainnya dibangun di sepanjang wilayah pesisir.  Setelah itu,baru dibangun wilayah-wilayah darat di bagian hulu (upland areas) sesuai dengan potensi lokalnya.

Sebagai tambahan, Data Food and Agriculture Organization di 2012, Indonesia pada saat ini menempati peringkat ketiga terbesar dunia dalam produksi perikanan di bawah Tiongkok dan India. Selain itu, perairan Indonesia menyimpan 70 persen potensi minyak karena terdapat kurang lebih 40 cekungan minyak yang berada di perairan Indonesia. Dari angka ini hanya sekitar 10 persen yang saat ini telah dieksplor dan dimanfaatkan.

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum merasakan peran signifikan dari potensi maritim yang dimiliki yang ditandai dengan belum dikelolanya potensi maritim Indonesia secara maksimal. Dengan beragamnya potensi maritim Indonesia, antara lain industri bioteknologi kelautan, perairan dalam (deep ocean water), wisata bahari, energi kelautan, mineral laut, pelayaran, pertahanan, serta industri maritim, sebenarnya dapat memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Namun, fakta yang ada di lapangan tidak seindah asumsi-asumsi tersebut. Misalnya saja, luas wilayah laut Indonesia yang besar dan membuat Indonesia melimpah dan kaya akan ikan itu ternyata tidak bisa dinikmati masyarakat Indonesia. Karena pada kenyataannya banyak dari penduduk kita yang kekurangan gizi, utamanya protein hewani dari asupan ikan.

Akibatnya, banyak bayi Indonesia yang terlahir dengan tingkat kecerdasan di level 89, masih di bawah rerata ASEAN yang mencapai 91,3. Capaian Indonesia tersebut juga hampir menduduki posisi paling buncit diantara negara-negara ASEAN lainnya.

"Padahal kita negara kepulauan dan memiliki laut yang luas. Kita punya ikan dimana-mana masa kekurangan protein hewani, padahal ikannya banyak," ujar Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Saut P Hutagalung beberapa waktu lalu.

Menurut Saut, hal tersebut dipengaruhi karena konsumsi rerata ikan Indonesia masih terbilang rendah. Saat ini sendiri, tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia hanya sebanyak 35 kilogram (kg) per kapita/tahun.

"Maka itu kita harus tingkatkan. Target tahun ini konsumsi ikan sebanyak 37,8 kg per kapita/tahun. Harus kita dorong, karena Jepang sendiri sudah 70 kg (per kapita/tahun) dan Malaysia mencapai 60 kg (per kapita/tahun)," tukas Saut.

Dengan potensi laut Indonesia yang demikian besar dan belum tergarap tersebut, jangan heran jika Indonesia kerap menjadi incaran negara asing. Sebut saja beberapa kasus yang belakangan ini mencuat, yakni pencurian ikan di perairan Indonesia, menjadi bukti nyata bahwa laut Indonesia menyimpan anugerah Tuhan yang tak terkira hingga pihak luar pun tergiur untuk turut mengeksploitasi dan menikmatinya.

Upaya Pemberantasan Praktek Pencurian Ikan

Buruknya pengawasan laut, misalnya, telah mengubah perairan Indonesia yang kaya tersebut menjadi sasaran empuk praktik pencurian ikan. Kekayaan laut kita dicuri, ikan-ikan kita dirampok. Namun, puluhan tahun hal itu berlangsung, kita lebih banyak diam. Kapal-kapal asing pencuri ikan pun leluasa beraksi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin mengakhiri pembiaran itu. Ia ingin aksi kapal-kapal pencuri itu dihentikan dan kewibawaan Indonesia di perairan ditegakkan. Semangat itu setidaknya tertangkap dari pernyataan Jokowi saat menanggapi usulan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti beberapa waktu lalu untuk menenggelamkan kapal asing pencuri ikan.

Dalam sidak di atas kapal roro yang sedang melaju dari Pelabuhan Merak ke Bakauheni, Lampung, Jokowi kembali memerintahkan kepada Polri dan TNI untuk mendukung usulan Susi Pudjiastuti menenggelamkan kapal asing pencuri ikan. Tidak berhenti sebagai pernyataan, perintah Presiden itu juga sudah mulai dipersiapkan oleh para pembantunya. Sejumlah menteri Kabinet Kerja pun terus mematangkan dasar-dasar kebijakan untuk mengimplementasikan perintah tersebut. Dengan begitu, efek jera di kalangan para pencuri ikan dapat tercipta. Efek itu akan terbentuk jika pemerintah menunjukkan ketegasan dalam penegakan hukum.

Kita juga sangat setuju dan bahkan mendesak kebijakan menenggelamkan kapal pencuri ikan itu segera dieksekusi di lapangan. Selama ini kita hanya bisa geram karena para pencuri asing itu menjarah ikan di lautan kita dengan leluasa sehingga negara dirugikan sekitar Rp300 triliun setiap tahun. Selama ini tidak ada langkah yang kuat untuk menghentikan praktik kejahatan itu.

Dalam Pasal 69 ayat 4 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan disebutkan bahwa penyidik dan atau pengawas perikanan dapat menenggelamkan kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

Tentunya, para awak kapal asing pencuri ikan yang akan ditenggelamkan harus diselamatkan terlebih dahulu. Disamping itu, kebijakan tersebut disampaikan dengan baik kepada negara-negara asal pencuri ikan sehingga kelak hal itu tidak mengganggu hubungan diplomasi dengan negara terkait.

Namun, penciptaan efek jera dengan menenggelamkan kapal pencuri ikan tidak boleh ditunda-tunda lagi. Sudah saatnya kewibawaan kita di laut ditegakkan. Inilah awal untuk mewujudkan visi Indonesia menjadi poros maritim dunia.


Credit Metrotvnews.com