Rabu, 24 Desember 2014

Jepang akan menjabarkan ulang 'klausul perdamaian' Konstitusi


Latihan: Tank dan kendaraan lapis baja Pasukan Bela Diri Jepang melaju di bawah tirai api selama latihan yang diadakan di Lahan Pelatihan Higashi-Fuji di Gotemba pada Agustus 2014. [AFP]
Latihan: Tank dan kendaraan lapis baja Pasukan Bela Diri Jepang melaju di bawah tirai api selama latihan yang diadakan di Lahan Pelatihan Higashi-Fuji di Gotemba pada Agustus 2014. [AFP]


CB - Tatkala Jepang semakin mendekati putusan akhir tahun yang diperkirakan mengenai reinterpretasi unsur signifikan dari Konstitusinya, warga dan sekutu Jepang mengamatinya secara intens.
Perdana Menteri Shinzo Abe dan Kabinetnya mengumumkan pada tanggal 1 Juli, tujuan mereka untuk membuat modifikasi besar-besaran pada apa yang secara umum dirujuk sebagai Pasal 9 – “klausul perdamaian” Konstitusi Jepang.
Bagian itu – yang dikonsep setelah Perang Dunia II dan diberlakukan pada tahun 1947 – melarang bentuk pemerintah kemiliteran Jepang, yang dulunya ekstrem, untuk terlibat lagi dalam perang, dan menyatakan bahwa Jepang tidak akan mempertahankan segala bentuk angkatan bersenjata militer dalam arti yang sesungguhnya
Pasal 9 menyatakan:
“Bercita-cita tulus untuk perdamaian internasional berdasarkan keadilan dan ketertiban, rakyat Jepang selamanya meninggalkan perang sebagai hak kedaulatan bangsa dan pengancaman atau penggunaan kekerasan sebagai cara menyelesaikan perselisihan internasional.
“Untuk mencapai tujuan paragraf di atas, angkatan darat, laut, dan udara, serta potensi perang lainnya, tidak akan dipertahankan. Hak negara untuk menyatakan perang tidak akan diakui.”
Abe dan Kabinet Jepang tidak serta-merta ingin mengubah kata-kata klausul itu. Sebaliknya, mereka ingin mengubah bagaimana makna itu ditafsirkan, suatu gerakan yang dirujuk di Jepang sebagai "reinterpretasi" Konstitusi.
Pertimbangan hak terlebih dahulu
Dikaitkan dengan reinterpretasi adalah yaitu hak terlebih dahulu, yang meleluasakan Jepang untuk melakukan serangan awal terhadap lawan yang memusuhi. Hak terlebih dahulu sudah dikemukakan berkali-kali selama 12 tahun terakhir, yang dimulai pada masa yang berpotensi krisis nuklir pada tahun 2002 dengan Korea Utara.
Hak terlebih dahulu sudah sesuai menyusul perselisihan dengan Tiongkok, khususnya apabila menyangkut soal kendali atas Kepulauan Senkaku yang dipegang oleh Jepang di Laut Tiongkok Timur. Tiongkok juga mengklaim kepemilikan kepulauan dan merujuknya dengan nama Diaoyu.
Jepang menyadari tentang jangkauan dan perluasan Tiongkok yang sedang berjalan di perbatasan maritimnya di Laut Tiongkok Timur dan Selatan.
Abe menyerukan bahwa Jepang adalah bangsa yang mencintai perdamaian, tetapi menurut Kepentingan Nasional, juga mengakui bahwa "perdamaian yang kami nikmati hari ini tidak diberikan kepada kami oleh pihak lain. Satu-satunya cara untuk memperolehnya, adalah mewujudkannya dengan tangan kita sendiri.”
Abe bertujuan untuk melakukan reinterpretasi yang resmi mengenai Pasal 9, dan kemungkinan besar tanpa perubahan bahasa, agar siap pada tahun baru. Para analis memperkirakan bahwa keputusan Abe akan meleluasakan Jepang untuk terlibat perang, tetapi hanya untuk membela diri, bukan penyerbuan.
Dengan kata lain, angkatan militer Jepang – yang dikenal sebagai Pasukan Bela Diri Jepang – akan dapat menyerang bangsa lain tanpa peringatan di muka.
Reinterpretasi juga akan meleluasakan pasukan Jepang menawarkan pertolongan dan bantuan kepada negara sekutu jika mereka diserang, bahkan seandainya Jepang bukan merupakan sasaran langsung.
Demikian pula dengan pasukan militer – yang secara teknis sudah dihapus oleh Pasal 9 – akan dapat melanjutkan operasi berdasarkan penafsiran konstitusi saat ini yang lebih merupakan sebagai pasukan keselamatan dan keamanan, bukannya pasukan militer dalam arti yang sesungguhnya.
Reinterpretasi dikaitkan untuk memperbarui panduan kerja sama
Reinterpretasi diperkirakan akan bertepatan dengan upaya bilateral bersama Amerika Serikat untuk memperbarui panduan kerja sama pertahanan, suatu perjanjian yang sudah berusia 17 tahun, yang menyatakan bahwa kedua bangsa akan saling menolong jika salah satunya mengalami serangan militer oleh negara lain. Bangsa-bangsa ini akan menunda tindakannya sampai enam bulan pertama tahun 2015 setelah pemilihan kembali Abe di awal bulan ini.
Abe bukan satu-satunya yang mendesak untuk melakukan reinterpretasi.
“Keputusan ini dapat dilihat sebagai puncak upaya yang sudah berjalan puluhan tahun oleh Amerika Serikat untuk menghentikan Jepang dari konstitusi pasifis dan kebijakan luar negeri pasca PD II, serta menetapkannya kembali pada jalur yang benar, yang kembali lagi menjadi kekuatan militer, namun, kali ini bertindak secara koordinasi dengan kebutuhan kebijakan luar negeri A.S.," menurut Foreign Policy Journal.
Meskipun A.S. mendukung visi Abe untuk reinterpretasi, namun tidak begitu halnya dengan sebagian besar pihak di dalam negerinya. Abe menghadapi oposisi yang cukup tangguh dari para ahli sejarah, kaum pasifis, dan mereka yang berpendapat bahwa Jepang sebaiknya jangan membuat perubahan apa pun, termasuk reinterpretasi, tanpa mengubah bahasa artikel tersebut.
Selain itu, segmen masyarakat Jepang tidak ingin negara mereka menjadi kekuatan militer seperti negara sekutu dan tetangga mereka.
Pada pertengahan Juni 2014 diadakan jajak pendapat, hanya dua minggu sebelum Abe mengumumkan rencananya untuk reinterpretasi, dan tercatat sebesar 56 persen penduduk Jepang menolak prakarsa peningkatan bela diri, dan hanya 28 persen yang mendukungnya, menurut The National Interest.
Namun, dalam jajak pendapat yang lain, 84 persen responden menjawab bahwa mereka akan mendukung pasukan bela diri jika Abe bisa lebih komunikatif dan lebih jelas mengenai tujuan dan visi reinterpretasinya mengenai Pasal 9.
“Pokoknya, apa yang dimiliki Perdana Menteri Abe di sini adalah kegagalan komunikasi,” The National Interest mengatakan. “Kalau ia bisa menjelaskan dengan lebih baik, mengapa reinterpretasi ini akan meninggikan, bukannya merongrong maksud yang mendasari Pasal 9, kemungkinan isu ini akan memberikan daya tarik politis.”
Pembuat undang-undang mendukung Abe
Abe mendapatkan dukungan berlimpah dari Diet, Majelis Rendah Perlemen Jepang. Jajak pendapat pasca pemilu yang dilakukan oleh Asahi Shimbun menemukan bahwa 69 persen dari para anggota yang baru dipilih menyetujui siasat Abe untuk menafsirkan ulang Konstitusi yang akan menghapus larangan hak bangsa untuk membela diri. Hampir semua pembuat undang-undang – 462 dari 475 – berpartisipasi dalam jajak pendapat.
Shigeru Ishiba, sekretaris jenderal Partai Demokratis Liberal yang dipimpin Abe, mengemukakan dengan jelas tujuannya untuk menafsirkan ulang Pasal 9 selama kunjungan ke Washington, D.C. awal tahun ini.
Sekurangnya ada dua negara yang tidak mendukung reinterpretasi Pasal 9, demikian menurut blog Lawfare.
“Sebagian kekuatan regional mengecam apa yang mereka anggap sebagai remilitarisasi Jepang. Khususnya, Tiongkok yang sangat vokal: negara ini menggambarkan reinterpretasi sebagai pukulan terhadap tatanan internasional pasca-Perang Dunia II. Korban lain dari agresi Jepang selama Perang Dunia II, Korea Selatan, juga mengungkapkan kekhawatirannya, meskipun pada tingkat yang lebih rendah,” menurut blog Lawfare.
Kekuatan lain telah menyuarakan dukungan mereka, termasuk A.S. dan beberapa sekutu Jepang, termasuk Australia, Filipina, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Thailand dan Vietnam.


Credit APDForum