Jumat, 26 Desember 2014

Presiden RI Widodo angkat jenderal garis keras sebagai menteri pertahanan

Pemeriksaan drone: Presiden Indonesia Joko Widodo, tengah, didampingi oleh para pemimpin militer, memeriksa sebuah pesawat pemantau tak berawak selama pameran Pertahanan Indo 2014 di Jakarta pada 7 November. [AFP]
Pemeriksaan drone: Presiden Indonesia Joko Widodo, tengah, didampingi oleh para pemimpin militer, memeriksa sebuah pesawat pemantau tak berawak selama pameran Pertahanan Indo 2014 di Jakarta pada 7 November. [AFP]


CB - Angkatan Bersenjata Indonesia [TNI] kalah dalam pemilu presiden lalu, tetapi memenangkan debat strategis mengenai masa depan negara.
Presiden baru Joko Widodo menggantikan Menteri Luar Negeri veteran Marty Natalegawa yang memprioritaskan perkerjaan dalam lingkup konsensus 10 negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara [ASEAN] dan menghindari dukungan bagi sesama negara blok, termasuk Vietnam atau Filipina, dalam sengketa teritorial mereka dengan Beijing atas Laut Tiongkok Selatan.
Sebaliknya, Widodo telah berpihak dengan para kritikusNatalegawa, para jenderal yang memimpin Tentara Nasional Indonesia [TNI], dan ia menunjuk salah satu jenderal yang tertangguh, Jenderal Ryamizard Ryacudu, sebagai menteri pertahanan.
Widodo, yang mengalahkan mantan Letnan Jenderal Prabowo Subianto dalam pemilu bulan Juli, juga menyetujui peningkatan pendanaan untuk mengkonfigurasi ulang TNI terhadap ancaman maritim eksternal, terutama dari Tiongkok. Dia juga merespon positif pendekatan untuk menjalin hubungan lebih erat dari Jepang, Vietnam dan Filipina.
Pada tanggal 1 Desember, Brigjen Haryoko Sukarto, kepala Pusat Studi Strategis Tentara Nasional Indonesia, berkata kepada Wakil Menteri Pertahanan Senior Vietnam Letjen Nguyen Chi Vinh di Hanoi bahwa Indonesia bertekad untuk memperluas hubungan pertahanan dengan Vietnam, Kantor Berita Vietnam [VNA] melaporkan.
"Kedua lembaga harus menyusun rencana khusus untuk kerja sama," kata Sukarto.
Vinh juga merasa antusias seperti Sukarto untuk hubungan yang lebih erat. Dia menghimbau kementerian pertahanan kedua negara untuk meningkatkan dialog mereka ke tingkat wakil kementerian, kata laporan itu.
Widodo telah berupaya untuk meyakinkan Tiongkok bahwa ia ingin mempertahankan dan meningkatkan hubungan ekonomi dan diplomatik yang sudah erat. Tetapi, ia telah melaksanakan strategi maritim nasional baru yang berani, yang telah dipromosikan secara antusias oleh para jenderal teras di TNI.
Widodo menjelaskan visi untuk kemakmuran
"Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden Indonesia, Joko Widodo mengkomunikasikan visi kemakmuran bagi negaranya berdasarkan tradisi perdagangan maritim. Menurutnya, Indonesia akan kembali menjadi kekuatan perdagangan laut. Dengan Kementerian Kelautan yang baru dan investasi $6 miliar dalam infrastruktur maritim, dia sungguh-sungguh mendukung langkah ini," menurut laporan Lina Miani di situs web CIMSEC [Pusat Keamanan Maritim Internasional] pada 4 Desember.
"Sementara jalan ini tampaknya jelas bagi negara kepulauan Indonesia, ada alasan-alasan yang sangat penting mengapa hal ini menandakan pergeseran besar dalam pemikiran strategis negara dari persepsi ancaman internal ke eksternal," tulis Miani. "Beberapa analis yakin bahwa pernyataan Jokowi merupakan tanda untuk meninggalkan kebijakan non-blok di Indonesia. Sejumlah pihak dengan gembira menafsirkan pergeseran ini akan ditujukan pada Tiongkok, yang klaim wilayahnya di Laut Tiongkok Selatan mempengaruhi Kepulauan Natuna di Indonesia yang kaya energi."
Charles W. Freeman, salah satu ketua Yayasan Kebijakan AS Tiongkok, mengatakan kepada Asia Pacific Defense Forum [APDF] bahwa evolusi dalam pemikiran strategis Indonesia konsisten dengan perubahan kebijakan dan perencanaan pertahanan di kawasan Asia Timur.
"Ada kecenderungan yang meningkat bagi negara-negara untuk mulai bertindak dengan ‘cara-cara normal' untuk dapat membela kepentingan mereka sendiri, dan kurangnya struktur keamanan regional yang sebanding dengan NATO di Eropa memperburuk proses ini," katanya.
Pada tanggal 14 November, The Jakarta Postmenulis bahwa strategi baru Widodo sedang diluncurkan di tengah meningkatnya persaingan dan serangkaian ketegangan perbatasan di wilayah tersebut.
Presiden melihat Indonesia sebagai kekuatan maritim
Dalam pidatonya diKTT Asia Timur [EAS] pada 13 November di ibukota Myanmar, Nay Pyi Taw, Widodo menyampaikan kepada para hadirin doktrin kebijakan luar negerinya: Indonesia sebagai titik tumpu maritim, kekuatan antara dua samudera.
Widodo mengatakan ia ingin Lautan Hindia dan Pasifik tetap damai dan aman bagi perdagangan dunia, bukannya menjadi medan perang memperebutkan sumber daya alam, konflik teritorial dan supremasi maritim.
"Indonesia wajib membangun kekuatan pertahanan maritim. Hal ini diperlukan tidak hanya untuk mengamankan kekayaan dan kedaulatan maritim, tetapi juga untuk mengemban tanggung jawab untuk menjaga keselamatan navigasi dan keamanan maritim," kata pemimpin baru Indonesia ini.
Modernisasi Angkatan Laut Indonesia mencakup pemesanan dua frigat dari Belanda, tiga korvet dari Inggris dan tiga kapal selam dari Korea Selatan.
Widodo mengangkat menteri luar negeri wanita
Menteri Luar Negeri baru Widodo, Retno Lestari Priansari Marsudi, membuat sejarah sebagai menteri luar negeri wanita yang pertama di negaranya. Namun, dia tidak memiliki pengalaman dan pengaruh politik dari pendahulunya, Natalegawa.
"Yang lebih penting bagi Retno adalah bagaimana dia akan menyuntikkan unsur maritim ke dalam agenda departemennya dalam cara yang mencerminkan aspirasi Joko [Presiden Widodo] untuk mengubah Indonesia menjadi poros maritim," tulis Bantarto Bandoro dari Universitas Pertahanan Indonesia dan pendiri Lembaga Studi Pertahanan dan Penelitian Strategis di Jakarta, di the Jakarta Globe pada tanggal 29 Oktober.
Menanggapi meningkatnya klaim Tiongkok terhadap tetangga Indonesia, yaitu sesama negara ASEAN Vietnam, Brunei, Malaysia, dan Filipina, serta klaim yang terus berlanjut atas Kepulauan Natuna, Panglima Komandan TNI Jenderal Moeldoko meminta Beijing pada bulan April untuk mundur dan menegaskan bahwa Jakarta siap bertindak tegas untuk mempertahankan wilayahnya.
"Diplomasi Indonesia tidak akan pernah meninggalkan ASEAN, tetapi urusan luar negeri di abad ke-21 ini harus melampaui fokus terdekat Asia Tenggara. Ini menandakan tekad Indonesia untuk tidak hanya melihat kebangkitan Tiongkok di utara dan tantangan di Laut Tiongkok Selatan, tetapi juga merupakan indikator bahwa bangsa ini akan makin memandang ke arah barat, yaitu Samudera Hindia dan anak benua India," tulis komentator Meidyatama Suryodiningrat di theJakarta Post.


Credit APDForum