CB, Jakarta - Tim Lee, ekonom dari
sebuah lembaga analis ekonomi piEconomics, mengungkapkan penyebab awal
mula terjadinya krisis ekonomi yang menerjang Turki, saat ini. Menurut dia, krisis ini terjadi karena ekonomi yang memiliki ketergantungan tinggi pada investor asing.
Semua ini bermula pada 2011. Saat itu, kata Lee, bank-bank sentral di seluruh dunia ramai-ramai memulihkan negara-negara masing-masing dari krisis keuangan. Tiga tahun sebelumnya, pada 2008, krisis ekonomi memang mendera beberapa negara.Di Turki, banyak bank yang kemudian meminjam uang dalam bentuk dolar dari luar negeri untuk dipinjamkan ke perusahaan lokal. Tujuannya membuat perusahaan-perusahaan itu bisa tumbuh cepat. "Jadi, ekonomi Turki makin bergantung pada pembiayaan dari luar," ujarnya sebagaimana dikutip dari The New York Times, Minggu, 12 Agustus 2018.
Saat ini, nilai mata uang lira milik Turki terus mengalami pelemahan.
Dikutip dari situs Investing.com, nilai mata uang lira bertengger di
angka 6,42 lira per dolar Amerika Serikat atau turun 16 persen dari hari
sebelumnya.
Nilai tukar mata uang ini sebenarnya sudah anjlok 70 persen sejak awal tahun. Pada 1 Januari 2018, nilainya masih bertengger di angka 3,78 lira per dolar Amerika. Artinya, nilai mata uang sudah anjlok sekitar 69 persen atau mendekat 70 persen, lebih tinggi dari yang dikabarkan semula, yaitu 40 persen.
Pernyataan Lee ini diperkuat oleh data dari sebuah grup perdagangan dan perbankan, Institute of International Finance atau IIF. Menurut IIF, utang perusahaan Turki dalam mata uang asing saat ini sudah mencapai US$ 5 triliun. "Turki bergantung pada utang mata uang asing lebih dari negara emerging-market lainnya," tulis laporan IIF.
Saat ini, kata Lee, ancaman makin besar karena anjloknya nilai tukar lira membuat perusahaan akan membayar utang dengan lebih mahal. "Perusahaan di sana mengabaikan semua risiko dan terus meminjam dolar," kata Lee.
Semua ini bermula pada 2011. Saat itu, kata Lee, bank-bank sentral di seluruh dunia ramai-ramai memulihkan negara-negara masing-masing dari krisis keuangan. Tiga tahun sebelumnya, pada 2008, krisis ekonomi memang mendera beberapa negara.Di Turki, banyak bank yang kemudian meminjam uang dalam bentuk dolar dari luar negeri untuk dipinjamkan ke perusahaan lokal. Tujuannya membuat perusahaan-perusahaan itu bisa tumbuh cepat. "Jadi, ekonomi Turki makin bergantung pada pembiayaan dari luar," ujarnya sebagaimana dikutip dari The New York Times, Minggu, 12 Agustus 2018.
Nilai tukar mata uang ini sebenarnya sudah anjlok 70 persen sejak awal tahun. Pada 1 Januari 2018, nilainya masih bertengger di angka 3,78 lira per dolar Amerika. Artinya, nilai mata uang sudah anjlok sekitar 69 persen atau mendekat 70 persen, lebih tinggi dari yang dikabarkan semula, yaitu 40 persen.
Pernyataan Lee ini diperkuat oleh data dari sebuah grup perdagangan dan perbankan, Institute of International Finance atau IIF. Menurut IIF, utang perusahaan Turki dalam mata uang asing saat ini sudah mencapai US$ 5 triliun. "Turki bergantung pada utang mata uang asing lebih dari negara emerging-market lainnya," tulis laporan IIF.
Saat ini, kata Lee, ancaman makin besar karena anjloknya nilai tukar lira membuat perusahaan akan membayar utang dengan lebih mahal. "Perusahaan di sana mengabaikan semua risiko dan terus meminjam dolar," kata Lee.
Credit tempo.co