CB, Jakarta - Tim Lee, ekonom dari sebuah lembaga analis ekonomi bernama piEconomics, menilai krisis keuangan yang terjadi di Turki
saat ini sangat mirip dengan apa yang terjadi di Thailand pada Mei
1997. Saat itu, nilai mata uang baht milik Thailand jatuh dan menjadi
awal mula krisis finansial Asia di tahun yang sama.
"Ini identik," kata Lee sebagaimana dikutip dari The New York Times, Minggu, 12 Agustus 2018. Menurut dia, ekonomi Thailand pada 1997 dan Turki saat ini sama-sama memiliki ketergantungan yang besar dari utang dan pembiayaan dari investor luar negeri. "Perusahaan di sana mengabaikan semua resiko dan terus meminjam dollar," kata Lee.Di Thailand, salah satu penyebab dari jatuhnya nilai mata uang mereka adalah karena beban utang luar negeri yang cukup besar. Pemerintah Thailand saat itu berupaya mengambangkan mata uang untuk memicu ekspor, namun upaya itu gagal. Maka dari Juli 1997 hingga Januari 1998, nilai tukar baht anjlok 120 persen dari 25 baht per dollar menjadi 56 baht.
Sementara di Turki, nilai mata uang lira juga terus mengalami
pelemahan. Dikutip dari situs investing.com, nilai mata uang lira
bertengger di angka 6,42 lira per dollar Amerika Serikat atau turun 16
persen dari hari sebelumnya.
Nilai tukar mata uang ini sebenarnya sudah anjlok 70 persen sejak awal tahun. Pada 1 Januari 2018, nilanya masih bertengger di angka 3,78 lira per dollar Amerika. Artinya, nilai mata uang sudah anjlok sekitar 69 persen atau mendekat 70 persen, lebih tinggi dari yang dikabarkan semula yaitu 40 persen.Pernyataan Lee ini diperkuat oleh data dari sebuah grup perdagangan dan perbankan, Institute of International Finance atau IIF. Menurut IIF, utang perusahaan Turki dalam mata uang asing saat ini sudah mencapai US$ 5 triliun. "Turki bergantung pada utang mata uang asing lebih dari negara emerging-market lainnya," tulis laporan IIF.
Ketergantungan Turki pada utang mata uang asing pun dinilai lebih dari negara berkembang lainnya. Saat ini, utang perusahaan berdenominasi asing, umumnya dollar, mewakili 70 persen ekonomi Turki. IIF juga menyatakan perusahaan-perusahaan ini kemudian menggunakan uang pinjaman berbentuk dollar untuk membiayai pembangunan pabrik baru, pusat perbelanjaan, sampai gedung-gedung pencakar langit.
"Ini identik," kata Lee sebagaimana dikutip dari The New York Times, Minggu, 12 Agustus 2018. Menurut dia, ekonomi Thailand pada 1997 dan Turki saat ini sama-sama memiliki ketergantungan yang besar dari utang dan pembiayaan dari investor luar negeri. "Perusahaan di sana mengabaikan semua resiko dan terus meminjam dollar," kata Lee.Di Thailand, salah satu penyebab dari jatuhnya nilai mata uang mereka adalah karena beban utang luar negeri yang cukup besar. Pemerintah Thailand saat itu berupaya mengambangkan mata uang untuk memicu ekspor, namun upaya itu gagal. Maka dari Juli 1997 hingga Januari 1998, nilai tukar baht anjlok 120 persen dari 25 baht per dollar menjadi 56 baht.
Nilai tukar mata uang ini sebenarnya sudah anjlok 70 persen sejak awal tahun. Pada 1 Januari 2018, nilanya masih bertengger di angka 3,78 lira per dollar Amerika. Artinya, nilai mata uang sudah anjlok sekitar 69 persen atau mendekat 70 persen, lebih tinggi dari yang dikabarkan semula yaitu 40 persen.Pernyataan Lee ini diperkuat oleh data dari sebuah grup perdagangan dan perbankan, Institute of International Finance atau IIF. Menurut IIF, utang perusahaan Turki dalam mata uang asing saat ini sudah mencapai US$ 5 triliun. "Turki bergantung pada utang mata uang asing lebih dari negara emerging-market lainnya," tulis laporan IIF.
Ketergantungan Turki pada utang mata uang asing pun dinilai lebih dari negara berkembang lainnya. Saat ini, utang perusahaan berdenominasi asing, umumnya dollar, mewakili 70 persen ekonomi Turki. IIF juga menyatakan perusahaan-perusahaan ini kemudian menggunakan uang pinjaman berbentuk dollar untuk membiayai pembangunan pabrik baru, pusat perbelanjaan, sampai gedung-gedung pencakar langit.
Credit tempo.c