Sejak menggantikan sepupunya Mohammed bin Nayef pada Juni lalu sebagai calon pengganti Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud, pria 32 tahun ini telah memulai kampanye untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Ia mulai menyingkirkan saingannya dalam keluarga kerajaan dan aktivis agama.
Pada September, polisi Arab Saudi menangkap puluhan tokoh agama, termasuk pengkhotbah Islam Salman al-Awdah dan Awad al-Qarni, yang kini berada di balik jeruji besi. Namun kabar yang lebih mengejutkan datang dari pewaris takhta paling ambisius itu pada Sabtu (4/11) malam.
Dia memecat menteri senior dan menahan puluhan orang terkaya di negara itu, seolah-olah dengan alasan untuk memerangi korupsi. Mereka yang ditahan termasuk sepupunya yang merupakan salah satu orang terkaya di dunia, Pangeran Alwaleed bin Talal, bersama 11 pangeran lainnya, empat menteri, dan beberapa mantan menteri.
Waleed al-Ibrahim, Ketua Middle East Broadcasting Centre (MBC), salah satu perusahaan media terbesar di kawasan itu, dan tokoh konstruksi, Bakr Binladin dari kelompok Saudi Binladin, juga ditahan. Beberapa pihak juga bertanya-tanya mengenai keberadaan Mohammed bin Nayef, yang belum pernah terlihat di depan umum sejak Juni lalu dan dikabarkan berada di bawah tahanan rumah.
Akademisi dari Durham University, Christopher Davidson, mengatakan penahanan yang menargetkan kaum elite lama Arab Saudi menunjukkan pergeseran bentuk kekuasaan. Sistem aturan konsensus keluarga tampaknya telah berubah menjadi gaya pemerintahan yang otoriter yang bertumpu pada satu orang pemimpin.
"Mendapatkan 'hasil tangkapan besar' yang dilakukan oleh MBS dan sekutunya di Abu Dhabi menunjukkan sinyal kekuatan sultanistik baru yang dibangun MBS," ujar Davidson, yang menggunakan akronim MBS untuk Mohammed bin Salman. Ia merujuk pada hubungan dekat Mohammed dengan para pemimpin Uni Emirat Arab (UEA).
"Dengan menargetkan orang-orang kaya, baik sesama pangeran atau raja media dan bos konstruksi, MBS menunjukkan tidak ada seorang pun yang berada di luar kendalinya, karena dia sekarang berada di puncak rezim satu orang yang otoriter. Konsensus lama monarki berabad-abad yang lalu telah runtuh secara efektif pada beberapa titik di awal tahun ini," jelas dia, kepada Aljazirah.
Seorang veteran CIA berusia 30 tahun yang sekarang menjabat sebagai Direktur Brookings Intelligence Project, Bruce Riedel, mengatakan penangkapan massal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya di Arab Saudi.
"Politik keluarga kerajaan secara tradisional bersifat konsensual dengan menekankan kesopanan dan kehormatan, bahkan kepada para menteri yang gagal," katanya.
Ia meramalkan, pergeseran sistem aturan berbasis konsensus tradisional Arab Saudi itu akan menyebabkan kekacauan di dalam negeri. "Akan ada banyak ketidakpuasan di balik layar di dalam keluarga, dan kerajaan akan menuju ketidakstabilan," tambah Riedel.
Perubahan aturan konsensus dapat memberikan dampak yang lebih luas baik di dalam maupun di luar negeri, terutama menyangkut hubungan Arab Saudi dengan saingan regionalnya, Iran. Sejak pengangkatan Mohammed bin Salman sebagai menteri pertahanan dan wakil putra mahkota pada 2015, dan kemudian menjadi putra mahkota, Riyadh telah mengambil sikap kebijakan luar negeri yang lebih agresif terhadap Teheran.
Pada Maret 2015, Arab Saudi memutuskan untuk berperang melawan pemberontak Houthi di Yaman, yang diyakini telah didukung oleh Iran. Pada awal 2016, Arab Saudi mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran.
Di tengah meningkatnya ketegangan regional, pada Selasa (7/11), Mohammed bin Salman menuduh Iran telah melakukan tindakan perang. Ia menyalahkan Teheran karena telah memasok rudal ke kelompok Houthi yang kemudian ditembakkan ke Riyadh, namun berhasil dicegat oleh angkatan bersenjata Arab Saudi. Iran telah menolak tuduhan Arab Saudi itu yang menyebutnya jahat, tidak bertanggung jawab, merusak, dan provokatif.
Di dalam negeri, Muhammad bin Salman telah menjanjikan reformasi sosial dan ekonomi, termasuk menawarkan saham publik Aramco, perusahaan minyak milik negara. Ia juga mengakhiri larangan perempuan untuk mengemudi kendaraan di negara tersebut.
Dia akan meluncurkan Vision 2030, sebuah rencana reformasi yang akan mengurangi ketergantungan perekonomian Arab Saudi terhadap minyak. Arab Saudi akan mengembangkan sektor pariwisata, kesehatan, dan pendidikan di negara itu.
Mantan wakil direktur operasi CIA, Robert Richer, memuji rencana moderenisasi Putra Mahkota Saudi tersebut. Namun Richer, yang pernah ditempatkan di sejumlah negara Timur Tengah, mengatakan pengangkatan Mohammed bin Salman dapat berkontribusi pada kemungkinan adanya perang dengan Iran.
"Ini adalah badai yang sempurna bagi [Mohammed] bin Salman, yang memiliki Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Israel, dan memandang Iran sebagai ancaman terbesar di wilayah ini," kata Richer kepada Aljazirah.
Presiden AS Donald Trump juga memuji Mohammed bin Salman dan ayahnya pascapenahanan beberapa elite baru-baru ini. Ia juga telah berulang kali menuduh Iran mendukung terorisme dan menyebabkan kekerasan, pertumpahan darah, dan kekacauan di Timur Tengah.
Ketegangan antara Iran dan Arab Saudi telah terjadi selama beberapa dekade, berawal dari revolusi Iran pada 1979, yang mengubah Iran menjadi sebuah republik Islam. Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya telah menuduh Iran ingin menggulingkan pemerintah mereka dan mengekspor revolusi sejak saat itu.
Mantan perwira CIA Bob Baer memuji pendekatan konsensus berbasis keluarga di kerajaan Arab Saudi yang telah memutuskan untuk mencegah perang dengan Iran sampai saat ini. "Al Saud [keluarga penguasa Arab Saudi] telah bertahan bertahun-tahun, berkat sebuah konsensus yang luar biasa dan tak terputus untuk menghindari perang dengan Iran," kata Baer.
"Tidak ada yang ingin melihat perang di wilayah tersebut terutama karena Iran bukanlah negara kecil. Iran memiliki kekuatan ekonomi, memiliki identitas sendiri, dan mendapat dukungan dari masyarakatnya. Dunia membutuhkan Arab Saudi yang stabil dan dapat diprediksi," tambahnya.
Credit REPUBLIKA.CO.ID