RI harus siapkan SDM handal dan investasi infrastruktur.
Pesawat tempur Gripen (www.saab.com)
Kerja sama itu melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan Perusahaan Pertahanan dan Keamanan Swedia, Saab. Kedua lembaga itu memulai kerja sama dengan menyelenggarakan lokakarya pertama kali bertajuk 'Achieving Defence Technology Through Simulation and Geodata Handling' yang juga dihadiri oleh para pelaku industri dan perguruan tinggi. Swedia mulai dengan edukasi mempresentasikan teknologi simulasi Gripen.
Lokakarya yang berlangsung hingga esok itu merupakan tindak lanjut dari nota kesepahaman (MoU) antara BPPT dan Saab pada Agustus 2015 lalu. Dalam kesepakatan itu, kedua lembaga telah menandatangi MoU untuk teknologi pertahanan.
Lantas, apalah kerja sama transfer teknologi tersebut mengharuskan Indonesia membeli teknologi Swedia.
Menanggapi hal tersebut, Deputy of Head Saab Indonesia, Lars Neilsen menyatakan pada prinsipnya, sebagai wujud dari kerja sama yang telah disepakati, maka sudah kewajiban Swedia untuk mentransfer ilmu yang mereka miliki.
“Pada prinsipnya Saab siap untuk mengalihkan teknologi ke Indonesia, dalam rangka apa dan untuk apa, tergantung Indonesia,” tutur Lars kepada VIVA.co.id, Senin 7 Desember 2015.
Lars menjelaskan jika Indonesia punya kemauan hingga bisa menjadi pembuat pesawat tempur, maka setidaknya harus melalui sembilan tahapan atau proses.
Proses pertama dan kedua yaitu basic research, tahap ini ditandai dengan menggaet insitusi, akademi. Saab mengaku dalam konteks ini, mereka sudah menggandeng ITB dan UI. "Barangkali nanti UGM," katanya.
Tahap ketiga dan keempat, yaitu applied research. Pada tahap ini yaitu bagaimana mengaplikasikan teknologi tersebut.
Kemudian tahap kelima dan keenam yaitu demo level. Pada tahap ini diawali dengan demo subkomponen. Selanjutnya tahap tujuh dan delapan adalah product development atau pengembangan produk.
"Kesembilan, product in use, kita sudah mampu untuk buat sendiri (pesawat tempurnya)," tuturnya.
Tantangan
Namun demikian, Lars mengatakan kesembilan proses itu tidak mudah untuk ditempuh. Butuh waktu belasan tahun. "Butuh waktu lama, 10 sampai 15 tahun," katanya.
Untuk mewujudkan tahapan panjang tersebut, Lars mengatakan ada tiga pilar yang dimanfaatkan yaitu investasi dari Rusia, investasi dari Indonesia dan proyek.
Untuk investasi dari Rusia, disebutkan Negeri Beruang Putih itu bersedia mengirimkan pakar-pakar mereka ke Indonesia, untuk mentransfer ilmu teknologi canggih mereka. Kemudian untuk investasi dari Indonesia, kata Lars, Indonesia harus siap dengan Sumber Daya Manusia untuk menampung aliran pengetahuan dari Swedia maupun dari Tanah Air.
“Dari Indonesia, harus ada investasi, komitmen SDM, infrastruktur, invest in people, kalau SDM belum siap gimana," tuturnya.
Sedangkan untuk pilar ketiga yaitu proyek, soal kesiapan Indonesia untuk membeli pesawat tempur, radar, kapal selam, senjata dari Swedia.
“Indonesia mau membeli, kami siap mengalihkan teknologi, tapi tanpa proyek, percuma dan Indonesia mengerti UU No.16 (UU Industri Pertahanan), di mana kita memang harus beli dari luar, sebelum kita kembangkan punya industri,” ucapnya.
Lars menegaskan bukanlah suatu keharusan Indonesia untuk membeli teknologi dari Swedia. Namun, ia mengatakan perusahaannya berpatokan pada UU yang berlaku di Indonesia.
“Bukan harus beli, kita harus punya proyek kerja sama dengan Indonesia, ada proyek yang bisa kerjakan bersama, dan dengan UU, teknologi bisa kita terima saat kita kerja sama dengan masing-masing negara, untuk masing-masing proyek," tutupnya.
Credit VIVA.co.id