Desakan mengenai perubahan iklim ini
sebenarnya sudah cukup lama dirasakan oleh PBB. UNFCCC sendiri lahir
dari desakan publik internasional. (Reuters/Christian Hartmann)
Jakarta, CB
--
Di tahun terpanas menurut Organisasi Meteorologi
Dunia (WMO), Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim gagasan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC COP21) akan kembali digelar pada 30
November hingga 11 Desember di Paris, Perancis.
El Nino yang
berembus menambah parah tingkat gas rumah kaca hingga rekor pun
ditembus. Hal ini mendesak para pemimpin dari 196 negara untuk duduk
bersama demi memecahkan masalah perubahan iklim yang diperkirakan akan
menggerus sendi-sendi kehidupan.
Desakan mengenai perubahan iklim
ini sebenarnya sudah cukup lama dirasakan oleh PBB. UNFCCC sendiri
lahir dari desakan publik internasional.
Semua bermula sekitar dua dekade silam, jauh sebelum mata publik internasional tertuju pada isu pemanasan global.
Kala
itu, tepatnya 1985, Amerika Serikat gempar ketika beredar pemberitaan
bahwa ditemukan lubang pada lapisan ozon di Antartika pada 1985.
Beberapa riset ilmuwan mengenai pemanasan global yang sebelumnya hanya
menjadi tumpukan kertas, mulai diulas.
Namun, isu pemanasan global baru mulai menggema di Amerika Serikat pada 1988.
Menurut seorang anggota Satgas Reduksi Emisi dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan, Bernard Steni, isu perubahan iklim memanas setelah
terjadi kebakaran hutan skala luas di Taman Nasional Yellowstone, AS.
Sungai Missisipi mengering dan bulan Juni dinobatkan sebagai waktu
terpanas di Washington.
Kongres AS pun menjadi saksi ketika
seorang ilmuwan NASA, James Hansen, mengatakan bahwa ia yakin 99 persen,
perubahan iklim sedang terjadi di depan mata dan kemungkinan besar
dipicu oleh kegiatan manusia.
Saat itu, politisi konservatif
masih skeptis terhadap pandangan ini. Namun, kandidat presiden kala itu,
George H. W Bush atau Bush Sr., dalam pidatonya mengatakan, "Siapa yang
beranggapan bahwa kita tidak dapat melakukan sesuatu atas efek gas
rumah kaca, maka dia harus melupakan ’Efek Gedung Putih.’”
Meskipun efek pemanasan global masih hanya dirasakan di AS, isu ini menjadi perbincangan hangat pula di beberapa negara lain.
Pada
September 1988, Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher,
mengingatkan rakyatnya bahwa, “Kita tanpa sadar telah memulai eksperimen
yang masif terhadap sistem planet."
Dalam bukunya yang bertajuk The Carbon War, seorang pengajar di Royal
School of Mines, Jeremy Leggett, bahkan mengatakan bahwa 1988 merupakan
tahun istimewa yang tidak pernah terjadi dalam sejarah.
Awal
medio 1990, isu pemanasan global pun menggema di berbagai belahan dunia.
Di tengah tekanan publik pada Desember 1990, Majelis Umum PBB sepakat
untuk membentuk perjanjian untuk menangani perubahan iklim.
Maka
dibentuklah The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework
Convention on Climate Change (INC/FCCC) sebagai wadah tunggal proses
negosiasi antarpemerintah di bawah naungan Majelis Umum PBB.
Komite
ini mengadakan pertemuan sebanyak empat kali sepanjang Februari 1991
hingga Mei 1992, menyusun kerangka kerja perubahan iklim yang akan
diluncurkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro,
Brasil, pada 1992.
Mei 1992, INC/FCCC mengajukan draf akhir untuk
diadopsi di New York. Sepekan kemudian, draf dirilis dan dibuka untuk
penandatanganan para pihak dalam KTT Bumi.
Dalam KTT tersebut,
154 negara menandatangi kerangka kerja perubahan iklim yang disebut The
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Maret
1994. Konvensi Perubahan Iklim pun mulai berlaku.
Semua pihak
penandatangan UNFCCC pun menggelar pertemuan tahunan guna membahas
strategi menghadapi perubahan iklim. Pertemuan ini disebut Conference of
the Parties (COP) atau konferensi pihak-pihak terkait dalam UNFCCC.
UNFCCC
pun membentuk dua badan subsider, yaitu Subsidiary Body for Scientific
and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation
(SBI) yang akan memberikan rekomendasi atau mandat spesifik bagi COP.
COP
pertama atau COP1 digelar di Berlin Jerman atau dikenal dengan nama The
Berlin Mandate. Dalam pertemuan ini, semua pihak menyuarakan kesulitan
yang mereka hadapi untuk mencapai komitmen SBSTA dan SBI.
Setelah
COP2 dihelat di Swiss, sebuah sejarah yang dianggap sebagai tonggak
pergerakan melawan perubahan iklim ditorehkan saat COP3 digelar di
Kyoto, Jepang, pada 1997.
Dengan proses negosiasi alot, para
peserta akhirnya sepakat untuk mengadopsi Protokol Kyoto. Di bawah
protokol ini, semua negara maju berkewajiban untuk mereduksi emisi gas
melalui mekanisme Kyoto, meliputi perdagangan emisi, mekanisme
pembangunan bersih, dan implementasi bersama.
Sementara itu,
negara industri dan sebagian kawasan di Eropa tengah yang sedang dalam
masa transisi perekonomian sepakat untuk mereduksi gas emisi rumah hijau
dalam rentang waktu 2008-2012 hingga 6-8 persen di bawah tingkat 1990.
Setelah
hampir satu dekade COP selalu diwarnai perang kepentingan politik dan
negosiasi alot mengenai jumlah emisi yang harus dikurangi, kesepakatan
besar kembali dicapai pada 2005. COP11 ini dihadiri oleh lebih dari 10
ribu delegasi, terbanyak sepanjang sejarah.
Pertemuan ini
akhirnya menghasilkan Rencana Aksi Montreal, berisi kesepakatan untuk
memperpanjang berlakunya Protokol Kyoto yang seharusnya kedaluwarsa pada
2012. Dengan demikian, semakin panjang pula waktu bagi para pihak yang
tak setuju, termasuk AS, untuk meratifikasi Protokol Kyoto.
Setelah
itu, konferensi bersejarah lainnya adalah COP13 yang diselenggarakan di
Bali, Indonesia. Para peserta sepakat untuk mengadopsi Rencana Aksi
Bali, berisi kerangka kerja dan struktur negosiasi setelah 2012, batas
berlakunya Protokol Kyoto pertama.
Selain itu, para delegasi juga
sepakat untuk membentuk Kelompok Kerja Ad Hoc Kerja Sama Aksi dalam
Konvensi, badan subsider untuk melakukan negosiasi mendesak untuk
melakukan implementasi perjanjian.
Namun, implementasi dari
kerangka jangka panjang tersebut kandas pada COP15 di Denmark. New York
Times memberitakan bahwa, "Presiden Obama dan pemimpin dunia lainnya
memutuskan untuk menghentikan tugas sulit untuk mencapai kesepakatan
perubahan iklim. Mereka justru sepakat untuk membuat misi dari
konferensi di Copenhagen mencapai kesepakatan yang lebih tidak mengikat
secara politik yang justru akan menghasilkan isu lebih sulit di masa
depan."
AS, China, dan 23 pihak lainnya bersinergi membentuk
kesepakatan politis sehingga banyak negara lain tak ingin berkomitmen
kuat menjalankan Protokol Kyoto.
KTT
Perubahan Iklim di Paris terjadi hanya berselang sekitar dua pekan dari
serangan teror mematikan yang menewaskan 130 orang. (Reuters/Christian
Hartmann)
|
COP15 pun ditutup tanpa menghasilkan kesepakatan mengikat untuk aksi jangka panjang.
Namun,
kesepakatan politik yang disetujui oleh 25 pihak dalam COP15 tidak
diakui secara resmi oleh FCCC lantaran tak melibatkan semua peserta.
Akhirnya,
diputuskan bahwa pemberlakuan Protokol Kyoto masih akan dirundingkan
pada COP16. Dalam COP16 di Meksiko, para peserta dibayangi oleh laporan
IPCC bahwa batas maksimum pemanasan global setiap negara adalah 2
persen. Semua peserta akhirnya sepakat untuk mencapai target tersebut.
Hingga
sampailah pada 2012, COP18 di Qatar. Peserta akhirnya sepakat untuk
melakukan amandemen Protokol Kyoto yang memuat komitmen selama 2012
hingga 2020. Target semua peserta, membatasi emisi karbondioksida global
hanya 15 persen.
Dalam pertemuan ini, beberapa pedoman juga
diubah mengingat ada negara yang pada saat Protokol Kyoto ditandatangani
masih dianggap wilayah berkembang, kini sudah maju, seperti China.
Target mereka pun tak bisa disamakan dengan negara berkembang.
Indonesia
sendiri memasang target pengurangan emisi gas buang hingga 29 persen
pada 2020. Namun hingga kini, Indonesia belum mencapai target.
Laporan
mengenai pencapaian pengurangan emisi ini akan dibawa ke meja diskusi
COP21 di Paris, Perancis. Langkah Indonesia pun dibayangi oleh kebakaran
hutan yang menyebabkan kabut asap di beberapa negara Asia Tenggara.
Kebakaran
ini tak pelak menyebabkan emisi gas buang di Indonesia dan sekitarnya
bertambah. Namun, pemerintah Indonesia sudah mempersiapkan segala data
mengenai penanganan dan menyusun rekomendasi penanganan pemanasan global
ke depannya.
Dalam COP21, Indonesia akan mengajukan target pengurangan emisi hingga 40 persen pada 2030.
Credit
CNN Indonesia