Rabu, 13 Mei 2015

Adik Sri Sultan: GKR Pembayun Jadi Putri Mahkota, Ini Bencana Silsilah

Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun (wikipedia) 

Yogyakarta  (CB) - Adik tiri Sri Sultan HB X, GBPH Prabukusumo mengaku sudah bertemu dengan Sri Sultan pekan lalu. Menurut Prabukusumo, Sultan menjawab bahwa apa yang diucapkan dan dilakukan tersebut adalah perintah Allah SWT. Bahkan Sultan meminta adik-adiknya untuk bisa mengerti, karena itu adalah kehendak Tuhan. Mendengar jawaban itu, ujar Prabukusumo, dirinya dan 10 adik-adiknya tidak bisa menerima, sebab jawaban Sri Sultan sulit diterima nalar.
"Kepada adik-adiknya yang mempertahankan kebenaran paugeran, beliau berkata begitu. Sekarang terserah masyarakat memaknai ucapan dan tindakan Ngarso Dalem (Sri Sultan-red)," kata Prabukusumo.
Menambahkan pendapat kakaknya, GBPH Yudhaningrat menyatakan bahwa 11 adik Sultan telah menyatakan sikap menentang Sabdaraja dan Dawuh Raja yang dikeluarkan Sultan Hamengku Buwono X.
Ke-11 Pangeran tersebut berasal dari tiga istri Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Putra KRAy Ciptamurti (istri ke-4) antara lain GBPH Pakuningrat, GBPH Cakraningrat, GBPH Suryodiningrat, GBPH Suryomataram, GBPH Hadinegoro, GBPH Suryonegoro. Dari istri ke-3, KRAy Hastungkara antara lain, GBPH Condrodiningrat, GBPH Yudhaningrat, GBPH Prabukusumo.
Sedangkan dari istri pertama, KRAy Pintoku Purnomo yaitu GBPH Hadisuryo, dan dari istri kedua, KRAy Windyaningrum adalah KGPH Hadiwinoto, adik kandung HB X. Yudhaningrat juga menyebutkan, pengangkatan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi yang adalah putri mahkota, akan memutus silsilah Hamengku Buwono. Jika ada perubahan gelar dan perubahan silsilah dari keturunan bukan laki-laki, maka silsilah tersebut akan terputus dan hilang.
“Ini bencana bagi silsilahnya. Silsilahnya akan menurunkan putra-putra GKR Mangkubumi, silsilah Hamengku Buwono akan hilang. Sebab kita ini  patriarki bukan matriarki. Kami para adik berupaya mengingatkan pada Sultan HB X untuk kembali menghayati amanat leluhur, supaya beliau sadar bahwa langkahnya salah,” ujar Yudhaningrat.
Sementara itu, pengamat politik UGM Bayu Dardias Kurniawan mengatakan, alasan mendasar mengenai adanya penolakan oleh para adik-adik Sultan terhadap Sabdaraja dan Dawuh raja, karena Dawuhraja telah menghilangkan kemampuan Kasultanan Yogyakarta untuk memilih pemimpinnya.
Menurutnya, Sultan sama sekali tidak memberikan alternatif sistem. Sehingga Kasultanan Yogyakarta akan dihadapkan pada krisis mencari pemimpin jika garis laki-laki dihapuskan. Bayu juga menyoroti, Sri Sultan HB X tidak mau secara terbuka mengatakan bahwa GKR Mangkubumi-lah yang akan meneruskan tahtanya.
Kondisi pro dan kontra di internal Kraton Yogyakarta masih akan berlanjut, meski Sri Sultan sudah mengemukakannya secara terbuka. Menurut Bayu adik-adik Sultan berupaya mempertahankan masa lalu, sekaligus masa depan Kasultanan. Sementara, Sultan sendiri menyatakan bahwa sikapnya adalah amanat leluhur yang harus ditaati.



Credit Beritasatu.com



Sri Sultan Jelaskan Pergantian Gelarnya

Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X. (Antara/Agus Nugroho) 


Yogyakarta  (CB) - Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menjelaskan pergantian gelar yang disandangnya yang sebelumnya tercakup dalam isi sabdaraja yang dikeluarkan pada 30 April 2015.
Sri Sultan yang mengenakan kemeja batik duduk bersila didampingi istri, GKR Hemas, menjelaskan ihwal pergantian gelar yang disandangnya di hadapan masyarakat dari berbagai daerah di Dalem Wironegaran yang merupakan kediaman puteri pertamanya, GKR Mangkubumi, Jumat (8/5) sore.
Sultan mengatakan, sejak sabdaraja tersebut dikeluarkan, gelar yang disandangnya berubah menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgeng Ing Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panoto Gomo.
Gelar itu mengubah gelar sebelumnya yakni Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Menurut Sultan, pergantian nama itu merupakan dawuh atau perintah dari Allah SWT melalui leluluhurnya. Dengan demikian tidak bisa dibantah, dan hanya bisa menjalankan saja.
"Dawuh itu mendadak. Kewenangan Gusti Allah dan tidak diperbolehkan dibantah," kata dia.
Adapun gelar Buwono menjadi Bawono, dia menjelaskan, Buwono memiliki arti jagat kecil sementara Bawono memiliki arti jagat besar.
"Kalau disebut Buwono daerah, ya Bawono berarti nasional. Kalau Buwono disebut nasional, Bawono berarti internasional," kata dia.
Selanjutnya, perubahan kaping sedasa menjadi kasepuluh adalah untuk menunjukkan urutan. Sebab kaping memiliki arti hitungan tambahan, bukan lir gumanti (urutan).
"Seperti kapisan (pertama), kapindo (kedua), katelu (ketiga), dan seterusnya. Jadi tidak bisa kaping sedoso karena dasarnya lir gumanti," kata dia.
Sementara itu, tambahan Suryaning Mataram menunjukkan berakhirnya perjanjian Ki Ageng Pemanahan dengan Ki Ageng Giring yang merupakan periode mataram lama dari zaman Kerajaan Singasari sampai Kerajaan Pajang. Sementara mulai zaman Kerajaan Mataram dengan Raja Panembahan Senapati hingga Kerajaan Ngayogyakarta saat ini merupakan Mataram baru.
Adapun penggantian Kalifatullah Sayidin diganti Langgeng Ing Toto Panoto Gomo adalah menunjukkan berlanjutnya tatanan agama Allah di jagat.
"Hanya itu yang bisa saya artikan, kalau lebih dari itu nanti jadi ngarang sendiri dan belum tentu benar. Saya hanya sekadar menyampaikan dawuh," kata dia.



Credit   Beritasatu.com