NEW YORK
- Uni Eropa dan Jepang telah menyebarkan rancangan resolusi PBB yang
akan mengutuk Korea Utara (Korut) karena mengalihkan sumber dayanya
untuk mengejar senjata nuklir dan rudal balistik alih-alih membantu
rakyatnya. Lebih dari setengah warga Korut membutuhkan lebih banyak
makanan dan perawatan medis yang lebih baik.
Draf tersebut juga mendesak Korut untuk memberikan non-warga yang ditahan kebebasan komunikasi dan akses ke petugas konsuler. Hal ini berangkat dari kejadian yang menimpa seorang mahasiswa asal Amerika Serikat Otto Warmbier. Warmbier yang kembali ke rumah pada bulan Juni megalami kerusakan otak dan meninggal beberapa hari kemudian.
"Mengutuk pelanggaran hak asasi manusia yang telah berlangsung lama dan terus berlangsung, meluas dan menjemukan di Korut," begitu judul draft tersebut seperti dikutip dari Washington Post, Kamis (2/11/2017).
Draft ini mencatat temuan Komisi Penyelidikan PBB di Korut pada tahun 2014 bahwa informasi yang diterimanya memberikan alasan yang masuk akal bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan di negara Asia itu.
Komisi tersebut menyimpulkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pemusnahan, pembunuhan, perbudakan, penyiksaan, pemenjaraan, pemerkosaan, aborsi paksa, penganiayaan, kelaparan dan penghilangan yang disengaja dilakukan sesuai dengan kebijakan di tingkat tertinggi negara.
Majelis Umum komite HAM PBB diharapkan untuk memberikan suara pada draft tersebut pada pertengahan November. Jika disetujui, yang pasti akan disetujui, 193 negara anggota PBB akan kembali melakukan voting untuk naskah final pada bulan Desember. Semua resolusi sebelumnya yang mengecam catatan hak asasi manusia Korut telah diadopsi.
Rancangan tersebut sangat mendesak pemerintah Korut untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk segera menutup kamp penjara politik dan melepaskan semua tahanan politik, menangani kekebalan hukum dan bekerja sama dengan Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia PBB.
Resolusi ini juga mendesak pemerintah untuk mengizinkan semua warga Korut kebebasan bergerak dan kebebasan untuk meninggalkan negara tersebut, termasuk untuk mencari suaka, dan untuk memastikan bahwa mereka yang diusir atau dikembalikan ke negara tersebut tidak dihukum.
Korut menghasilkan mendapatkan valas dari pekerja yang dikirim ke luar negeri yang dibayar kurang karena pemerintah mengambil sebagian besar uang mereka, walaupun praktik tersebut telah dibatasi oleh Dewan Keamanan PBB dalam resolusi sanksi terakhirnya. Rancangan resolusi mendesak pemerintah untuk bergabung dengan Organisasi Buruh Internasional dan mematuhi standar perburuhan internasional.
Pekan lalu, pakar HAM independen PBB di Korut, Tomas Ojea Quintana, memperingatkan komite hak-hak majemuk bahwa sanksi keras PBB mungkin akan mempengaruhi hak-hak warga sipil dan meminta penilaian atas dampak terhadap mereka.
Rancangan resolusi tersebut tidak membahas dampak sanksi, hanya dampak pengalihan sumber daya untuk memajukan senjata nuklir dan program rudal balistik "mengenai situasi kemanusiaan dan hak asasi manusia warga negara" Korut.
Draf tersebut juga mendesak Korut untuk memberikan non-warga yang ditahan kebebasan komunikasi dan akses ke petugas konsuler. Hal ini berangkat dari kejadian yang menimpa seorang mahasiswa asal Amerika Serikat Otto Warmbier. Warmbier yang kembali ke rumah pada bulan Juni megalami kerusakan otak dan meninggal beberapa hari kemudian.
"Mengutuk pelanggaran hak asasi manusia yang telah berlangsung lama dan terus berlangsung, meluas dan menjemukan di Korut," begitu judul draft tersebut seperti dikutip dari Washington Post, Kamis (2/11/2017).
Draft ini mencatat temuan Komisi Penyelidikan PBB di Korut pada tahun 2014 bahwa informasi yang diterimanya memberikan alasan yang masuk akal bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah dilakukan di negara Asia itu.
Komisi tersebut menyimpulkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pemusnahan, pembunuhan, perbudakan, penyiksaan, pemenjaraan, pemerkosaan, aborsi paksa, penganiayaan, kelaparan dan penghilangan yang disengaja dilakukan sesuai dengan kebijakan di tingkat tertinggi negara.
Majelis Umum komite HAM PBB diharapkan untuk memberikan suara pada draft tersebut pada pertengahan November. Jika disetujui, yang pasti akan disetujui, 193 negara anggota PBB akan kembali melakukan voting untuk naskah final pada bulan Desember. Semua resolusi sebelumnya yang mengecam catatan hak asasi manusia Korut telah diadopsi.
Rancangan tersebut sangat mendesak pemerintah Korut untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk segera menutup kamp penjara politik dan melepaskan semua tahanan politik, menangani kekebalan hukum dan bekerja sama dengan Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia PBB.
Resolusi ini juga mendesak pemerintah untuk mengizinkan semua warga Korut kebebasan bergerak dan kebebasan untuk meninggalkan negara tersebut, termasuk untuk mencari suaka, dan untuk memastikan bahwa mereka yang diusir atau dikembalikan ke negara tersebut tidak dihukum.
Korut menghasilkan mendapatkan valas dari pekerja yang dikirim ke luar negeri yang dibayar kurang karena pemerintah mengambil sebagian besar uang mereka, walaupun praktik tersebut telah dibatasi oleh Dewan Keamanan PBB dalam resolusi sanksi terakhirnya. Rancangan resolusi mendesak pemerintah untuk bergabung dengan Organisasi Buruh Internasional dan mematuhi standar perburuhan internasional.
Pekan lalu, pakar HAM independen PBB di Korut, Tomas Ojea Quintana, memperingatkan komite hak-hak majemuk bahwa sanksi keras PBB mungkin akan mempengaruhi hak-hak warga sipil dan meminta penilaian atas dampak terhadap mereka.
Rancangan resolusi tersebut tidak membahas dampak sanksi, hanya dampak pengalihan sumber daya untuk memajukan senjata nuklir dan program rudal balistik "mengenai situasi kemanusiaan dan hak asasi manusia warga negara" Korut.
Credit sindonews.com