Rabu, 22 November 2017

Aktivis Tuduh Rezim Apartheid Myanmar Picu Krisis Rohingya


Aktivis Tuduh Rezim Apartheid Myanmar Picu Krisis Rohingya
Peluncuran laporan Amnesty International terbaru terkait krisis kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang mengincar etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar, pada Selasa (21/11) di Jakarta. (CNN Indonesia/Riva Dessthania Suastha)


Jakarta, CB -- Kelompok aktivis hak-hak asasi manusia (HAM) Amnesty International menilai pemerintah Myanmar menerapkan sistem rasis apartheid terhadap etnis Rohingya. Perlakuan diskrimatif itu menyebabkan krisis kemanusiaan yang terus mengincar etnis minoritas, terutama muslim Rohingya selama ini.

“Kami menemukan bahwa pembatasan hak Rohingya terus meningkat sejak konflik komunal 2012 lalu di Rakhine. Penerapan hukum serta kebijakan rasial yang diskriminatif terhadap Rohingya selama ini membuat kami berkesimpulan bahwa perilaku pemerintah mengarah pada kejahatan kemanusiaan, apartheid yang memicu konflik kemanusiaan dan terus memburuk,” papar salah satu peneliti dari Amnesty Internasional soal Myanmar, Elise Tillet, dalam peluncuran laporan terbaru organisasi itu soal krisis kemanusiaan di Rakhine, di Jakarta, Selasa (21/11) .

Laporan itu dibuat berdasarkan penyelidikan Amnesty International  di Myanmar  selama dua tahun terakhir, serta  tiga bulan di wilayah Rakhine. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan sikap dan kebijakan pemerintah Myanmar terhadap Rohingya.


Otoritas Myanmar memberlakukan kebijakan imigrasi yang ketat bagi etnis Rohingya dan membatasi ruang geraknya. Komunitas Rohingya tidak diizinkan pergi ke luar kota bahkan ke desa-desa lain di Rakhine tanpa izin aparat setempat.

Aparat juga memberlakukan jam malam bagi etnis Rohingya. Mereka hanya diperbolehkan beraktivitas di luar desa mulai pukul 6 pagi hingga 6 malam. “Di luar jam tersebut, Rohingya tidak boleh berkeliaran di luar tempat tinggal dan desa mereka. Bahkan untuk pergi ke rumah sakit di luar desa mereka pun harus mendapat izin terlebih dahulu dan mematuhi jam malam tersebut,” kata Elise.



"Banyak kaum Rohingya yang dipukuli oleh petugas di pos pemeriksaan karena dianggap tidak memiliki izin untuk berpergian. Pada Maret 2016 lalu, saya bertemu seorang bapak Rohingya di Rakhine yang sedang mencari anaknya yang ditangkap saat hendak pergi ke Yangon,” ujar Elise menambahkan.

Pembatasan berpergian ini pun, tutur Elise, juga berimbas pada pembatasan hak etnis Rohingya pada akses pendidikan dan kesehatan di Myanmar.

Elise mengatakan kebijakan diskriminatif mirip apartheid yang pernah berlaku di Afrika Selatan itu juga mengakar pada konstitusi Myanmar di mana Undang-undang Kewarganegaraan 1983 tidak memasukan etnis Rohingya sebagai salah satu etnis resmi negara anggota ASEAN itu.

Etnis Rohingya dianggap sebagai Bengali, imigran ilegal asal Bangladesh. Sejak 2016, bayi-bayi Rohingya yang baru lahir  sudah tidak mendapatkan akte kelahiran di Myanmar. Hal ini dikhawatirkan menjadi awal pencabutan hak kewarganegaraan anak-anak Rohingya ketika mereka dewasa.


Dalam kehidupan sosial dan politik, Rohingya juga sudah tidak memiliki hak memilih dalam pemilihan umum 2015 lalu. Kaum Rohingya juga dilarang berkumpul atau beroganisasi di tempat publik yang menyebabkan mereka kesulitan untuk melaksanakan ibadah bersama.

“Warga Rohingya tidak diperbolehkan berkumpul di muka publik lebih dari empat orang. Selama ini, warga Rohingya pun harus sembunyi-sembunyi untuk beribadah bersama. Jika ketahuan maka mereka akan diberi sanksi,” ujar Elise.

Amnesty International pun menyimpulkan kebijakan apartheid yang mengasingkan Rohingya selama ini menjadi pemicu persekusi yang terus menargetkan etnis minoritas tersebut di Myanmar.  Kebijakan diskriminatif itu pun dijadikan dasar oleh aparat maupun warga setempat untuk menaruh kebencian dan melakukan persekusi terhadap Rohingya.


Karena itu, Elise menekankan bahwa Amnesty International mendesak pemerintah Myanmar segera menghapuskan kebijakan diskriminatif tersebut sesegera mungkin sebagai solusi penyelesaian krisis di Rakhine.

“Kami menolak repatriasi pengungsi Rohingya di Bangladesh itu dilakukan sebelum kebijakan apartheid ini dihapus karena kami khawatir ketika mereka [Rohingya] pulang ke kampung halamannya, mereka tetap menjadi incaran persekusi aparat dan warga lokal,” kata Elise.


Credit  cnnindonesia.com


Tim Pencari Fakta PBB: Kekerasan di Rakhine Masih Berlangsung


Tim Pencari Fakta PBB: Kekerasan di Rakhine Masih Berlangsung
Marzuki Darusman, Kepala Misi Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar. (CNN Indonesia/Hesti Rika)



Jakarta, CB -- Ketua Tim Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Marzuki Darusman, melaporkan kekerasan yang mengincar etnis minoritas Myanmar terutama Rohingya masih terus terjadi di Rakhine sampai saat ini.

“Dalam dua setengah bulan terakhir, TPF turun ke lapangan untuk memonitor peristiwa yang terjadi. Saat ini, kami bisa simpulkan bahwa kekerasan masih berlangsung meski pemerintah Myanmar sudah mengumumkan bahwa kekerasan telah berakhir,” kata Marzuki dalam acara peluncuran laporan terbaru Amnesty International terkait dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Myanmar, Selasa (21/11), di Jakarta.

Marzuki mengatakan persekusi yang masih berlangsung itu terlihat dari masih adanya gelombang eksodus Rohingya yang melarikan diri ke perbatasan, terutama ke Bangladesh. Sejak akhir Agustus hingga awal November lalu, sedikitnya 600 ribu Rohingya yang datang ke Bangladesh.


Marzuki mendasari pernyataannya itu dari kesaksian para pengungsi Rohingya yang belakangan tiba di Bangladesh. Meski hingga kini timnya belum bisa masuk ke Rakhine dan mendapat penjelasan dari pemerintah Myanmar, dia menuturkan TPF berhasil mendapatkan sejumlah fakta dan bukti melalui kesaksian para pengungsi di kamp-kamp penampungan yang bisa membantu penyelidikan timnya.


Saat berada di perbatasan Bangladesh, terutama Cox’s Bazaar, timnya melihat keadaan para pengungsi sangat memprihatinkan. “Ratusan ribu orang menumpuk di tenda bambu plastik dan hidup di samping saluran air yangg tidak mengalir, berdekatan dengan sampah dan sebagainya,” kata Marzuki.

Menurut Marzuki, delombang eksodus Rohingya secara tiba-tiba dalam suatu waktu juga laporan organisasi HAM soal konflik di Rakhine menunjukkan tragedi di Rakhine bukan tidak insidental melainkan sistematis.


“Kejadian di Rakhine tidak bersifat insidental, tapi melembaga. Meski tidak dinyatakan langsung dalam kebijakan resmi, namun dalam prakteknya penindasan dan diskriminasi itu terjadi dan berdampak pada eksistensi Rohingya," kata Marzuki. "Karena itu ada dasar bahwa konflik di Rakhine merupakan pidana kemanusiaan seperti tercantum dalam Statuta Roma," kata Marzuki.

Tragedi di Rakhine State telah menelan sedikitnya 1.000 orang tewas, terutama Rohingya, sejak bentrokan antara kelompok bersenjata dan militer pada 25 Agustus lalu.

Hasil penyelidikan awal timnya sejauh ini, mengindikasikan dugaan pelanggaran HAM berat di Rakhine dan Myanmar secara keseluruhan. Meski begitu, hingga kini tim Marzuki belum bisa menyimpulkan bahwa hal itu merupakan tindakan pelanggaran HAM berat di Myanmar.


“Sebab perlu diingat, kekerasan dan bentrokan komunal tidak hanya terjadi di Rakhine, tapi di sejumlah wilayah lainnya di Myanmar dan terhadap etnis minoritas lainnya. TPF, di sini harus menyelidiki seluruh kemungkinan secara komperhensif,” kata Marzuki.

Marzuki akan berusaha agar timnya dapat membujuk pemerintah Myanmar untuk memberikan penjelasan sebelum tenggat waktu mandat TPF berakhir pada September 2018.

"Walau kami sudah dapat informasi dan bukti yang cukup dari para pengungsi, TPF tetap harus mendapat penjelasan dari sisi pemerintah Myanmar terkait tragedi ini sebelum menyimpulkan penyelidikan," kata mantan pelapor khusus PBB soal HAM Korea Utara itu.



Credit  cnnindonesia.com