Hal itu telah berdampak buruk pada kesejahteraan masyarakat Palestina.
CB,
WASHINGTON -- Para peneliti dari Duke University dan University of New
Hampshire mengatakan Israel telah membidik infrastruktur pertanian, air,
energi, dan pertanian Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Hal itu
telah berdampak buruk pada kesejahteraan masyarakat Palestina di kedua
wilayah tersebut.
Peneliti dari Duke University dan University of New Hampshire telah
mengkaji ratusan dokumen milik pemerintah, laporan PBB, hasil
studi-studi terkait sebelumnya, dan sumber-sumber lain yang dapat
diverifikasi tentang penargetan infrastruktur pertanian, air, dan energi
milik Palestina. Data dari Jalur Gaza dan Tepi Barat berasal dari data
pokok yang lebih besar yang mendokumentasikan penargetan infrastruktur
di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Dari
data-data tersebut, para peneliti mengidentifikasi 982 insiden antara
2006-2017 di mana pasukan Israel, agen, atau pemukimnya merusak,
menghancurkan, menonaktifkan atau membatasi akses ke situs dan struktur
yang menyediakan makanan, air bersih serta layanan penting lainnya bagi
warga Palestina.
"Ketika Anda menargetkan objek seperti
waduk, saluran pembuangan, kapal nelayan, dan pohon-pohon zaitun, Anda
juga secara tidak langsung menargetkan manusia yang bergantung pada
hal-hal tersebut. Ini memiliki implikasi jangka panjang yang mendalam,
tidak hanya untuk warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza, tapi juga
untuk perdamaian serta keamanan di seluruh wilayah," ujar Erika
Weinthal, profesor kebijakan lingkungan hidup di Duke's Nicholas School
of the Environtment, dikutip di
Middle East Monitor, Rabu (20/2).
Terkait
Jalur Gaza, laporan penelitian mencatat serangan berulang terhadap
infrastruktur air dan limbah telah merusak 60 persen dari area menanam
di daerah tersebut. Hal itu menyebabkan degradasi perekonomian warga di
sana.
Sementara di Tepi Barat, telah marak kejadian "
slow violence",
seperti pembatasan hukum, penolakan izin, dan bentuk penindasan tidak
langsung. "Ini mencakup sejumlah praktik, dari pencurian generator
listrik hingga penolakan izin konstruksi untuk membangun sistem air
untuk desa-desa Palestina serta penolakan untuk menghubungkan mereka
dengan sisyem yang ada," kata profesor politik di New Hampshire
University, Jeannie Sowers.
"Secara kolektif,
tindakan-tindakan semacam itu telah berkontribusi pada fragmentasi
populasi Palestina menjadi serangkaian daerah kantong yang terisolasi
dan tergantung pada donor," ujar Sowers.
Pasca-Perang Enam
Hari pada 1967, Israel menduduki Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari
Mesir, Dataran Tinggi Golan dari Suriah, serta Tepi Barat dan Yerusalem
dari Yordania. Semenanjung Sinai dikembalikan ke Mesir setelah negara
tersebut berhasil menandatangani perjanjian damai dengan Israel.
Berbeda
dengan Semenanjung Sinai, Israel tetap mempertahankan dan menganeksasi
Dataran Tinggi Golan, Tepi Barat, dan Yerusalem. Setelah penandatanganan
perjanjian Oslo tahun 1993, Tepi Barat dibagi menjadi tiga area, yakni
Area A, B, dan C.
Area A adalah wilayah di bawah kekuasaan
penuh Palestina. Kemudian Area B merupakan wilayah di bawah otoritas
bersama, yakni Israel dan Palestina. Sedangkan Area C adalah wilayah
yang sepenuhnya dikuasai Israel.
Namun pembagian wilayah
ini dianggap tak adil. Hal ini karena Area C merupakan wilayah pertanian
dan sumber air utama Tepi Barat. Karena berada di bawah kekuasaan
Israel, warga Palestina memiliki keterbatasan akses terhadap area
tersebut.