WASHINGTON - Kepala Komando Strategis (STRATCOM) Amerika Serikat (AS) mengatakan keberadaan rudal hipersonik dan sejumlah senjata baru Rusia lainnya membuat Washington harus berinvestasi miliaran dolar dalam modernisasi nuklir. Ia pun mengisyaratkan AS akan membatalkan perjanjian kontrol senjata yang tersisa dengan Moskow.
Bersaksi di hadapan Komite Angkatan Bersenjata Senat, Jenderal Angkatan Udara AS John Hyten mengatakan bahwa sistem senjata baru yang diluncurkan oleh Rusia tahun lalu tidak tercakup oleh perjanjian kontrol senjata START yang baru, dan AS mungkin mengalami kesulitan untuk bersaing dengan senjata semacam itu di masa depan.
"Saya prihatin 10 tahun dan lebih dari itu dengan torpedo, dengan rudal jelajah, dengan hipersonik, bahwa itu bisa sepenuhnya menuju ke arah lain, bahwa kita akan mengalami kesulitan," kata Hyten kepada Senat.
"Saya
tidak punya masalah mengatakan saya bisa membela negara hari ini, dan
saya pikir komandan setelah saya bisa, tetapi saya khawatir tentang
komandan setelah komandan setelah komandan," tuturnya seperti dikutip
dari Russia Today, Kamis (28/2/2019).
Kepala STRATCOM itu mengacu pada torpedo bawah air bertenaga nuklir Poseidon, rudal jelajah antarbenua dan hulu ledak nuklir hipersonik, yang semuanya diluncurkan Maret lalu oleh Presiden Vladimir Putin. Tidak satu pun dari sistem senjata ini yang dicakup oleh perjanjian kontrol senjata yang dinegosiasikan pada 2010, yang akan berakhir pada 2021.
"Saya mendukung START yang baru, tetapi Anda harus memiliki mitra yang ingin berpartisipasi," ujar Hyten, menjelaskan bahwa ia ingin melihat perjanjian diperpanjang hingga 2026 dan diperluas untuk mencakup sistem senjata baru ini.
"Jika mereka tidak akan melakukan itu, itu bagian dari apa yang kami khawatirkan," imbuhnya.
Menjelaskan perbedaan kemampuan antara rudal balistik dan hipersonik, Hyten mengatakan bahwa sensor AS yang ada dapat mendeteksi dan menemukan semua rudal saat diluncurkan.
"Rudal hipersonik kemudian menghilang dan kami tidak melihatnya sampai efeknya memberi hasil," sambungnya.
Pasal V dari traktat START yang baru sebenarnya menyediakan mekanisme bagi pihak-pihak untuk mengajukan pertanyaan tentang jenis senjata ofensif strategis yang baru jika mereka yakin itu sedang muncul. Sejauh ini belum ada bukti bahwa AS telah mengajukan ketentuan tentang senjata Rusia yang baru ini.
Sebagai gantinya, Washington memilih untuk secara sepihak menarik diri dari perjanjian Kekuatan Nuklir Tingkat Menengah (INF), yang ditandatangani pada 1987 untuk mendinginkan ketegangan nuklir di Eropa.
Kepala STRATCOM itu mengacu pada torpedo bawah air bertenaga nuklir Poseidon, rudal jelajah antarbenua dan hulu ledak nuklir hipersonik, yang semuanya diluncurkan Maret lalu oleh Presiden Vladimir Putin. Tidak satu pun dari sistem senjata ini yang dicakup oleh perjanjian kontrol senjata yang dinegosiasikan pada 2010, yang akan berakhir pada 2021.
"Saya mendukung START yang baru, tetapi Anda harus memiliki mitra yang ingin berpartisipasi," ujar Hyten, menjelaskan bahwa ia ingin melihat perjanjian diperpanjang hingga 2026 dan diperluas untuk mencakup sistem senjata baru ini.
"Jika mereka tidak akan melakukan itu, itu bagian dari apa yang kami khawatirkan," imbuhnya.
Menjelaskan perbedaan kemampuan antara rudal balistik dan hipersonik, Hyten mengatakan bahwa sensor AS yang ada dapat mendeteksi dan menemukan semua rudal saat diluncurkan.
"Rudal hipersonik kemudian menghilang dan kami tidak melihatnya sampai efeknya memberi hasil," sambungnya.
Pasal V dari traktat START yang baru sebenarnya menyediakan mekanisme bagi pihak-pihak untuk mengajukan pertanyaan tentang jenis senjata ofensif strategis yang baru jika mereka yakin itu sedang muncul. Sejauh ini belum ada bukti bahwa AS telah mengajukan ketentuan tentang senjata Rusia yang baru ini.
Sebagai gantinya, Washington memilih untuk secara sepihak menarik diri dari perjanjian Kekuatan Nuklir Tingkat Menengah (INF), yang ditandatangani pada 1987 untuk mendinginkan ketegangan nuklir di Eropa.
Bagian
dari pernyataan Hyten dihabiskan untuk meletakkan kasus pada
menghabiskan miliaran dolar guna memodernisasi persenjataan nuklir AS
saat ini, termasuk "triad" pembom jarak jauh, rudal darat dan kapal
selam.
"Saya melihat kemampuan nuklir kami, triad kami dan program modernisasi kami sebagai kemampuan esensial minimal yang diperlukan untuk mempertahankan bangsa ini," kata jenderal itu kepada para senator.
"Karena kita harus bertahan melawan ancaman paling eksistensial, dan Rusia dan China - serta kemampuan mereka adalah ancaman paling eksistensial," tegasnya.
Meskipun akuntan pemerintah memperkirakan bahwa perbaikan tersebut mungkin menelan biaya lebih dari USD1 triliun hingga tahun 2030-an - dan Partai Demokrat mengatakan ini akan terlalu mahal - Hyten bersikeras bahwa program itu penting.
"Bahkan pada tingkat tertinggi, itu masih sekitar 6 persen dari keseluruhan anggaran pertahanan. Saya pikir kita bisa mendapatkan keamanan itu,” tukasnya.
"Saya melihat kemampuan nuklir kami, triad kami dan program modernisasi kami sebagai kemampuan esensial minimal yang diperlukan untuk mempertahankan bangsa ini," kata jenderal itu kepada para senator.
"Karena kita harus bertahan melawan ancaman paling eksistensial, dan Rusia dan China - serta kemampuan mereka adalah ancaman paling eksistensial," tegasnya.
Meskipun akuntan pemerintah memperkirakan bahwa perbaikan tersebut mungkin menelan biaya lebih dari USD1 triliun hingga tahun 2030-an - dan Partai Demokrat mengatakan ini akan terlalu mahal - Hyten bersikeras bahwa program itu penting.
"Bahkan pada tingkat tertinggi, itu masih sekitar 6 persen dari keseluruhan anggaran pertahanan. Saya pikir kita bisa mendapatkan keamanan itu,” tukasnya.
Credit sindonews.com