CB, JAKARTA -- Sikap Indonesia atas pelanggaran
kapal Tiongkok Kway Fee 10078 yang diduga mencuri ikan (illegal fishing)
di kawasan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan di landas kontinen sudah
sesuai ketentuan hukum laut Internasional.
"Karena berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) negara Indonesia memiliki hak berdaulat atas laut teritorial dan ZEE," kata analis hukum internasional Universitas Airlangga, Intan I Soeparna, Kamis (24/3).
Saat diminta tanggapan atas insiden kapal penangkap ikan KM Kway Fey 10078 dan kapal coastguard atau keamanan laut milik China di kawasan perairan Natuna, Provinsi Kepualuan Riau, ia merinci alasan sikap tepat pemerintah Indonesia.
Menurut dia, berdasarkan pasal 73 UNCLOS Indonesia sebagai coastal state memiliki hak untuk mengekplorasi, ekploitasi, konservasi dan mengkontrol sumber daya alam pada wilayah ZEE.
Indonesia juga berhak untuk melakukan tindakan seperti boarding, inspeksi, penahanan dan melakukan proses hukum untuk menegakkan hukum penangkapan ikan yang sesuai dengan UNCLOS.
"Jadi, negara Tiongkok seharusnya menghormati hukum yang berlaku, karena berdasarkan Pasal 58 UNCLOS, negara-negara lain harus menghormati dan melaksanakan aturan yang ditetapkan oleh Indonesia sebagai 'coastal state'," kata doktor lulusan Vrije Universiteit Brussel, Belgia itu.
Oleh karena itu, katanya menegaskan, tindakan yang dilakukan oleh kapal keamanan laut Tiongkok yang berusaha menghalangi pihak Indonesia untuk mengamankan kapal Kway Fee adalah melanggar Pasal 58 dan 73 UNCLOS.
Ia juga menilai kapal keamanan laut Tiongkok juga telah melakukan intervensi terhadap usaha Indonesia untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan UNCLOS.
Sedangkan Indonesia, kata dia, dapat melakukan tindakan pengamanan dan penangkapan pada awak buah kapal (ABK) Kway Fee sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Pasal 73 UNCLOS.
Yakni, para awak tersebut diamankan tetapi tidak untuk dipenjarakan atau dihukum, dan para awak Kway Fee harus dilepaskan dengan jaminan dari negara asal.
Dalam hal mengamankan ABK kapal Kway Fee, kata dia, Indonesia juga harus memberitahu negara Tiongkok melalui atase atau kuasa usaha Tiongkok di Indonesia.
Mengenai penabrakan yang dilakukan oleh kapal keamanan laut Tiongkok, ia menyebut sebagai "termasuk tindakan yang dapat menimbulkan kesan bahwa Tiongkok tidak memiliki itikad baik dalam menghormati UNCLOS".
"Sehingga protes keras yang dilayangkan oleh pemerintah Indonesia dapat dibenarkan," katanya.
Karena, kata dia, menurut hukum Internasional, itikad baik merupakan landasan utama dalam melaksanakan hukum internasional dan menghormati hukum dari negara-negara lain, termasuk "coastal state".
Intan melihat bahwa konflik Laut Cina Selatan memang menimbulkan hal yang sangat sensitif dalam hubungan internasional di wilayah laut.
"Sehingga Indonesia meskipun bukan negara pengklaim (claimant state) di Laut Tiongkok Selatan, tetap harus berhati-hati dalam melaksanakan hak dan kewajibannya atas ZEE, agar kemudian tidak menimbulkan preseden buruk dalam upaya ikut menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan," katanya.
"Karena berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) negara Indonesia memiliki hak berdaulat atas laut teritorial dan ZEE," kata analis hukum internasional Universitas Airlangga, Intan I Soeparna, Kamis (24/3).
Saat diminta tanggapan atas insiden kapal penangkap ikan KM Kway Fey 10078 dan kapal coastguard atau keamanan laut milik China di kawasan perairan Natuna, Provinsi Kepualuan Riau, ia merinci alasan sikap tepat pemerintah Indonesia.
Menurut dia, berdasarkan pasal 73 UNCLOS Indonesia sebagai coastal state memiliki hak untuk mengekplorasi, ekploitasi, konservasi dan mengkontrol sumber daya alam pada wilayah ZEE.
Indonesia juga berhak untuk melakukan tindakan seperti boarding, inspeksi, penahanan dan melakukan proses hukum untuk menegakkan hukum penangkapan ikan yang sesuai dengan UNCLOS.
"Jadi, negara Tiongkok seharusnya menghormati hukum yang berlaku, karena berdasarkan Pasal 58 UNCLOS, negara-negara lain harus menghormati dan melaksanakan aturan yang ditetapkan oleh Indonesia sebagai 'coastal state'," kata doktor lulusan Vrije Universiteit Brussel, Belgia itu.
Oleh karena itu, katanya menegaskan, tindakan yang dilakukan oleh kapal keamanan laut Tiongkok yang berusaha menghalangi pihak Indonesia untuk mengamankan kapal Kway Fee adalah melanggar Pasal 58 dan 73 UNCLOS.
Ia juga menilai kapal keamanan laut Tiongkok juga telah melakukan intervensi terhadap usaha Indonesia untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan UNCLOS.
Sedangkan Indonesia, kata dia, dapat melakukan tindakan pengamanan dan penangkapan pada awak buah kapal (ABK) Kway Fee sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Pasal 73 UNCLOS.
Yakni, para awak tersebut diamankan tetapi tidak untuk dipenjarakan atau dihukum, dan para awak Kway Fee harus dilepaskan dengan jaminan dari negara asal.
Dalam hal mengamankan ABK kapal Kway Fee, kata dia, Indonesia juga harus memberitahu negara Tiongkok melalui atase atau kuasa usaha Tiongkok di Indonesia.
Mengenai penabrakan yang dilakukan oleh kapal keamanan laut Tiongkok, ia menyebut sebagai "termasuk tindakan yang dapat menimbulkan kesan bahwa Tiongkok tidak memiliki itikad baik dalam menghormati UNCLOS".
"Sehingga protes keras yang dilayangkan oleh pemerintah Indonesia dapat dibenarkan," katanya.
Karena, kata dia, menurut hukum Internasional, itikad baik merupakan landasan utama dalam melaksanakan hukum internasional dan menghormati hukum dari negara-negara lain, termasuk "coastal state".
Intan melihat bahwa konflik Laut Cina Selatan memang menimbulkan hal yang sangat sensitif dalam hubungan internasional di wilayah laut.
"Sehingga Indonesia meskipun bukan negara pengklaim (claimant state) di Laut Tiongkok Selatan, tetap harus berhati-hati dalam melaksanakan hak dan kewajibannya atas ZEE, agar kemudian tidak menimbulkan preseden buruk dalam upaya ikut menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan," katanya.
Credit REPUBLIKA.CO.ID