Seorang badut menghibur anak-anak yang berada
di kamp perbatasan antara Yunani -Macedonai di desa Idomeni, 9 Maret
2016. REUTERS/Stoyan Nenov
"Saya tidak ragu mengatakan ini adalah Dachau zaman modern, konsekuensi logis atas ditutupnya perbatasan," kata Kouroublis, seperti dilansir Daily Mail, pada 18 Maret 2016.
Kamp Idomeni terletak di perbatasan Yunani dengan Makedonia. Kondisi kamp Idomeni, kata Kouroublis, sangat kumuh dan tidak layak huni serta begitu menyedihkan.
Pemerintah Yunani mengatakan lebih dari 46 ribu pengungsi dan imigran kini tertahan di negara tersebut karena penutupan perbatasan dengan Makedonia dan negara-negara Balkan lain sejak pekan lalu.
Sekitar sepertiga dari mereka berkumpul di Idomeni. Kamp Idomeni awalnya direncanakan untuk 2.500 orang, tapi sekarang jumlah pengungsi lebih dari 12 ribu. Mereka sebagian besar berasal dari Suriah dan Irak. Banyak pengungsi berusia anak-anak di kamp itu.
Hujan yang mengguyur secara terus-menerus telah membuat kamp tersebut tak ubahnya seperti rawa. Ribuan orang tidur di tenda-tenda kecil di tanah berlumpur dan selokan. Mereka harus antre selama berjam-jam untuk mendapatkan makanan dari lembaga bantuan.
Puluhan anak-anak menderita pilek dan demam dan belum mendapatkan perawatan karena masih harus menunggu lembaga bantuan yang bermurah hati.
Komentar Kouroublis itu dikeluarkan bersamaan dengan pembicaraan yang dilangsungkan di Brussel di antara pemimpin Uni Eropa untuk mencapai kesepakatan soal penanganan imigran dengan Turki.
Dalam pertemuan tersebut, Uni Eropa dan Turki mencapai persetujuan bersejarah dengan mengekang arus masuk pendatang ke Eropa. Kasus pengungsi ini merupakan krisis terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.
Berdasarkan kesepakatan itu, semua pendatang yang tiba di Yunani dari Turki mulai Sabtu, 19 Maret 2016, dikirim kembali ke Turki. Namun pemimpin negara Eropa mengatakan tugas sulit adalah menunggu pelaksanaan perjanjian itu.
Turki meraih beberapa kesepakatan politik dan manfaat keuangan sebagai balasan menjadi negara yang bertindak mengekang aliran manusia yang terdesak dari Suriah dan negara lain ke Eropa.
Credit TEMPO.CO