Diskriminasi, marjinalisasi dan
perlakuan buruk aparat memicu kebencian warga Muslim Belgia, membuka
keran radikalisasi yang memicu serangan terorisme. (Carl Court/Getty
Images)
ISIS mengklaim berada di balik serangan di bandara dan stasiun kereta Brussels, yang menewaskan 34 orang dan melukai 230 lainnya, Selasa pekan ini.
Tercatat ada 500 warga Belgia yang pergi ke Suriah, terbanyak per kapita di seluruh Eropa. Sebanyak 100 di antaranya disebut telah kembali ke Belgia, memicu ancaman keamanan nasional.
Abaaoud merekrut banyak orang di Brussels, terutama di Molenbeek, daerah mayoritas Muslim di Belgia. Dari Brussels, warga bisa berkendara dengan mobil ke kota-kota besar di Eropa, seperti Paris, Amsterdam, Cologne, Strasbourg, Frankfurt atau Berlin.
Salah Abdeslam, satu-satunya pelaku pengeboman Paris yang masih hidup juga ditangkap di Molenbeek. Di distrik ini, radikalisasi tumbuh subur, salah satunya karena dimotori oleh kelompok penyebar propaganda ekstrem Sharia4Belgium. Molenbeek dihuni oleh 90 ribu orang, sekitar 80 persen penduduknya adalah Muslim.
Sebanyak 44 orang dari kelompok Sharia4Belgium diadili dalam pengadilan terbesar di Belgia. Mereka divonis antara tiga hingga 12 tahun atas kasus terorisme. Namun sebagian besar divonis secara in absentia karena mereka tengah berada di Suriah.
Lantas mengapa Islam dengan pemahaman radikal berkembang pesar di Molenbeek, terutama di kalangan pemuda?
Ali, bukan nama sebenarnya, salah satu warga Moleenbek mengatakan dua saudaranya yang menjadi anggota Sharia4Belgium telah berangkat ke Suriah, salah satu terbunuh di medan perang.
Menurut Ali, diskriminasi dan kurangnya kesempatan kerja untuk warga keturunan Timur Tengah di Belgia menjadi alat propaganda kelompok radikal yang berhasil merekrut banyak pemuda.
"Belgia menolak anak-anak dan pemuda, mereka mengatakan 'mereka semua orang asing, kenapa harus diberi pekerjaan?'," kata Ali.
"Mereka menanamkan kebencian, dan mereka mengatakan kami tidak berguna. Jadi ketika pemuda melihat apa yang terjadi [di Suriah], mereka berpikir 'Oke, ayo ke sana dan jadi berguna'," lanjut Ali.
Geraldine Henneghien, seorang ibu asal Molenbeek yang putranya pergi ke Suriah mengatakan aparat tidak peduli kepada mereka.
Henneghien mengaku sempat melapor polisi saat tahu putranya, Anis, akan ke Suriah, namun diacuhkan. Polisi, kata dia, mengatakan putranya itu bukan anak di bawah umur sehingga bebas pergi kemana saja.
Anis saat itu berusia 18 tahun. Diduga dia terbunuh di Suriah.
Hal ini diamini Ali, yang mengatakan "mereka ingin menyingkirkan para pemuda dengan membiarkan mereka pergi."
Selain itu, tindakan aparat yang sewenang-wenang telah memicu kebencian terhadap penegak hukum, kian memantik radikalisme di Belgia.
Ali mengatakan, keluarganya kini seperti kriminal setelah saudaranya pergi ke Suriah.
Suatu kali, polisi menggeledah rumahnya. Saat itu istri, anak-anak dan ibunya telah tertidur. Ali mengaku tidak tahu apa yang terjadi, namun moncong-moncong senapan sudah berada di dekat wajahnya.
"Mengapa harus gunakan kekerasan? Mereka tidak menemukan apa-apa, tidak ada senjata, tidak ada peledak. Tapi mereka datang ke rumah kami seakan kami bersenjata dari kepala hingga kaki. Hal ini menanamkan kebencian di hati kami," kata Ali.
Hal yang sama dialami Yassine Boubout, warga Molenbeek. Dia dikira teroris dan ditodong senjata oleh polisi saat hendak membeli makan siang.
"Saya bertanya 'Apa yang terjadi? Singkirkan senjata dari wajah saya?'. Senjata itu siap tembak, pengamannya telah dibuka, dan jarinya ada di pelatuk. Satu gerakan saja, saya yakin akan ditembak. Saya takut mati," kata Boubout.
Dia berlutut selama sekitar 20 menit sebelum dijebloskan ke penjara selama tiga jam sebelum dibebaskan tanpa penjelasan apa pun.
"Kita berbicara soal generasi ketiga dan keempat [imigran] di Belgia, para pemuda ini lahir di Belgia, bahkan ayah dan ibu juga lahir di Belgia, dan mereka masih memiliki pesan itu [keterasingan]. Ini tidak normal. Di AS, generasi kedua adalah presiden. Di sini, generasi keempat adalah tentara ISIS," ujar Jambon.
Credit CNN Indonesia