Rabu, 06 Juni 2018

Qatar Abaikan Ancaman Saudi



Qatar Abaikan Ancaman Saudi
Qatar Abaikan Ancaman Saudi. (Koran SINDO).


DOHA - Qatar menuding Arab Saudi bersikap gegabah setelah Riyadh mengancam akan menyerang Doha hanya karena pembelian sistem pertahanan Rusia.

Menteri Luar Negeri (menlu) Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani tidak berpikir kalau ancaman Saudi itu merupakan hal serius. Dia menuding Riyadh menggunakan ancaman itu untuk menciptakan “kekacauan” di tengah ketegangan Doha dengan koalisi Saudi bersama Mesir, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Bahrain.

Harian Prancis, Le Monde , pada Sabtu (2/6) melaporkan bahwa Raja Saudi Salman bin Abdulaziz al Saud mengirimkan surat ke Presiden Prancis Emmanuel Macron. Surat itu berisi kekhawatiran Arab Saudi mengenai perundingan antara Doha dan Moskow tentang pembelian sistem pertahanan Rusia S-400.

Raja Saudi dikabarkan mempertimbangkan segala pertimbangan, termasuk aksi militer. “Kita sedang mencari konfirmasi formal dari pemerintahan Prancis mengenai surat itu,” kata Menlu Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani kepada Al Jazeera, kemarin.

“Tidak ada ancaman militer serius dalam hal ini. Itu hanya untuk menciptakan kekisruhan di kawasan. Hal itu tidak bisa diterima,” ungkapnya. Thani menegaskan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari surat tersebut. Koalisi kuartet memutuskan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Qatar setahun lalu.

Mereka menuding Doha mendukung terorisme, tapi Qatar membantah tuduhan tersebut dan menyatakan blokade itu sebagai upaya meng ganggu kedaulatannya. Melansir Reuters, kantor presiden Prancis dan kantor komunikasi pemerintahan Saudi tidak merespons konfirmasi dan komentar mengenai laporan Le Monde serta tanggapan Qatar.

Qatar dan Rusia menandatangani kesepakatan kerja sama teknis dan militer tahun lalu. Doha memang berunding untuk membeli sistem pertahanan misil S-400. Bagaimana jika Doha melanjutkan kesepakatan pembelian S-400? “Qatar terbuka dengan semua opsi untuk memperkuat pertahanan,” kata Thani.

Dia mengatakan Qatar mencari sistem pertahanan dengan kualitas terbaik. Bagi dia, keputusan membeli senjata adalah urusan kedaulatan suatu negara. “Ancaman yang dilakukan Saudi juga melanggar hukum internasional dan seluruh norma internasional,” kata Thani. “Pembelian peralatan militer itu keputusan kedaulatan dan tidak ada negara yang bisa mencampuri urusan tersebut,” katanya.

Namun, jika ancaman itu memang benar, Thani menegaskan, Qatar akan menempuh jalur hukum karena negaranya tidak melanggar hukum internasional. “Qatar juga menghadapi blokade ilegal. Kita akan mencari forum internasional untuk meyakinkan insiden seperti tidak terulang lagi,” katanya. Perpecahan antara Qatar dan Saudi memang tidak menguntungkan Washington.

Maklum, Amerika Serikat (AS) memiliki hubungan baik antara Doha dan Riyadh. Gedung Putih memandang perpecahan negara Sunni itu akan menguntungkan negara Syiah Iran. Setahun setelah blokade, Qatar justru semakin kuat. Kebijakan luar negeri Qatar semakin independen.

Tidak ada perpecahan politik di dalam negeri. Qatar justru tidak menghadapi krisis seperti yang dibayangkan sebelu mnya. “Qatar justru mampu menjadikan krisis sebagai kesempatan untuk memperbaiki ketahanan pangan, kohesi sosial, dan ekonomi berkelanjutan, serta mengadaptasi kebijakan fiskal yang solid untuk menghadapi blokade,” kata Sultan Barakat, profesor politik dari Universitas York.

Strategi manajemen krisis yang dijalankan Qatar sangat sukses. “Doha mampu membangun sistem ketahanan terhadap aliansi anti-Qatar,” ujar Barakat. Kemudian Qatar juga melawan dengan blokade yang dilakukan Arab Saudi. Doha melarang penjualan produk makanan dari Arab Saudi dan koalisi.

“Produk yang berasal dari negara yang memblokade Qatar dilarang dijual di toko dan pasar,” demikian keputusan Pemerintah Qatar. Emir Kuwait Sheikh Sabah al-Ahmad al-Jaber al-Sabah berulang kali mengirimkan surat kepada negara yang mem blokade untuk memediasi, tapi tidak ada respons positif.  

“Mediasi kita tidak mudah,” kata Duta Besar Kuwait untuk Inggris Khaled al-Duwaisan seperti dilansir kantor berita China, Xinhua . “Padahal ketegangan itu seharusnya bisa diselesaikan melalui negosiasi,” ujarnya.

Dalam pandangan Rory Miller, pakar hubungan internasional dari Universitas Georgetown di Qatar, tidak ada pihak yang memiliki alasan tepat membuat konsesi besar. “Krisis tersebut tetap berlangsung ketika kawasan Timur Tengah disibukkan dengan konflik yang lebih serius,” kata Miller.



Credit  sindonews.com