Pembunuhan warga sipil terjadi saat pasukan koalisi melawan kelompok ISIS.
CB,
LONDON -- Amnesty International mengatakan pasukan koalisi pimpinan
Amerika Serikat (AS) telah menewaskan ratusan warga sipil di Kota Raqqa,
Suriah, tahun lalu. Saat itu pasukan koalisi tengah melancarkan
serangan militer untuk melawan kelompok militan ISIS.
Dalam
sebuah laporan terbaru yang diterbitkan pada Selasa (5/6), Amnesty
International mewawancarai 112 warga sipil dari empat keluarga di Raqqa.
Mereka menceritakan kengerian yang mereka saksikan saat anggota
keluarga mereka tewas oleh koalisi pimpinan AS yang menyerbu kota itu
mulai 6 Juni hingga 12 Oktober 2017.
Sebuah keluarga besar yang diwawancarai mengaku kehilangan 90
anggota keluarga dan tetangga mereka. Satu keluarga lainnya kehilangan
39 anggota keluarga dari pemboman udara yang tak henti-hentinya
dilakukan.
"Ketika begitu banyak warga sipil tewas
dalam serangan demi serangan, yang membuat tragedi ini semakin buruk
adalah beberapa bulan kemudian insiden-insiden itu belum diselidiki.
Para korban layak mendapatkan keadilan," kata Donatella Rovera,
Penasihat Penanggulangan Krisis Senior di Amnesty International, dikutip
Aljazirah.
Laporan setebal 68 halaman itu berjudul
War of annihilation: Devastating Toll on Civilians, Raqqa - Syria.
Di dalamnya termasuk investigasi lapangan dari para peneliti Amnesty
International yang mengunjungi 42 lokasi serangan udara pasukan koalisi
di seluruh kota.
Pasukan Inggris dan Prancis yang
tergabung dalam koalisi itu dilaporkan telah melakukan puluhan ribu
serangan udara di Raqqa. Namun, pasukan AS bertanggung jawab atas lebih
dari 90 persen serangan udara dan 30 ribu tembakan artileri.
Setelah
ISIS mengambil alih Raqqa pada Januari 2014, sebagian besar
pemerintahannya terhadap penduduk kota dilakukan dengan penindasan,
termasuk cambukan di depan umum, eksekusi, serta penangkapan para
pembangkang dan aktivis.
Namun, serangan pasukan
koalisi pimpinan AS di kota itu justru membunuh ratusan warga sipil dan
juga menghancurkan banyak infrastruktur dan bangunan. "Pemerintahan
brutal ISIS selama empat tahun di Raqqa penuh dengan kejahatan perang.
Tetapi pelanggaran yang dilakukan ISIS, termasuk penggunaan warga sipil
sebagai perisai manusia, tidak bisa menjadi alasan bagi koalisi AS untuk
melakukan semua tindakan pencegahan yang layak tanpa meminimalkan
kerugian bagi warga sipil," papar Rovera.
Rasha
Badran dan suaminya, Abdulwahab, kehilangan bayi perempuan mereka,
Tulip, dan 38 anggota keluarga lainnya, setelah serangan udara
menargetkan dua rumah tempat mereka berlindung. Keluarga Badran telah
pindah dari suatu tempat ke tempat lain, mencoba melarikan diri dari
serangan udara pasukan koalisi.
Mereka yang selamat
kemudian menetap di dua rumah di Harat al-Sakhani, di Raqqa. Akan tetapi
pada 20 Agustus tahun lalu pukul 19.00, dua rumah itu dibom. "Hanya
saya, suami saya, saudara laki-lakinya, dan sepupunya yang selamat. Saya
tidak bisa bergerak atau berbicara. Kemudian suami saya dan saudara
laki-lakinya menemukan saya," kata Rasha kepada Amnesty International.
Sebanyak
33 anggota keluarga Badran tewas dalam serangan itu. Rasha dan ketiga
keluarganya yang selamat kemudian bersembunyi di bawah reruntuhan sampai
keesokan paginya, karena pesawat-pesawat tempur masih berputar di atas
mereka.
"Di pagi hari kami menemukan tubuh Tulip.
Bayi kami sudah mati. Kami menguburkannya di dekat sana, di dekat pohon.
Kedua rumah hancur lebur; tidak ada yang tersisa, hanya ada
puing-puing. Saya tidak mengerti mengapa mereka mengebom kami. Bukankah
pesawat pengintai melihat bahwa kami adalah keluarga sipil?" ungkap
Rasha.
Amnesty International menyerukan koalisi
pimpinan AS untuk membuka penyelidikan menyeluruh atas pelanggaran yang
dilakukan, yang menyebabkan tewasnya ratusan korban sipil. Selain itu,
koalisi juga harus secara terbuka mengakui jumlah warga sipil yang tewas
dan properti sipil yang rusak di Raqqa.