Rabu, 06 Juni 2018

Program Rahasia Pentagon: Kecerdasan Buatan Dipakai untuk Deteksi Rudal Musuh


Program Rahasia Pentagon: Kecerdasan Buatan Dipakai untuk Deteksi Rudal Musuh
Cuplikan video grafis simulasi rudal nuklir dengan sistem hipersonik Avangard yang diumumkan Presiden Vladimir Putin 1 Maret lalu.Tak mau kalah, Pentagon kini kembangkan teknologi AI untuk deteksi rudal musuh Foto/RU-RTR


WASHINGTON - Pentagon sedang mengembangkan program rahasia, di mana militer Amerika Serikat (AS) akan menggunakan artificial intelligence (AI) untuk  memprediksi dan mendeteksi peluncuran peluru kendali (rudal) musuh. Program yang masih dalam taraf penelitian ini menjadi tanda meningkatnya minat Amerika terhadap AI.

Sumber Pentagon mengungkap adanya program itu kepada Reuters. Menurut sumber itu, beberapa program sedang berlangsung. Semua ditujukan untuk penerapan kecerdasan buatan guna mengantisipasi dan memperingatkan peluncuran misil musuh.

Sistem komputer akan menjelajahi sejumlah besar data, seperti rekaman drone atau citra satelit, jauh lebih cepat dan lebih akurat daripada manusia. Dalam satu program percontohan yang difokuskan pada Korea Utara, AI digunakan untuk mencari dan melacak rudal bergerak yang dapat disembunyikan di terowongan, hutan, dan gua. AI kemudian menilai apakah aktivitas tersebut merupakan ancaman langsung atau tidak, dan memperingatkan kepada para komandan.

Begitu tanda-tanda peluncuran rudal terdeteksi, pemerintah AS akan memiliki waktu untuk memilih opsi diplomatik atau beralih dengan menghancurkan misil, idealnya bahkan sebelum rudal musuh meninggalkan tanah.

Administrasi Trump telah mengusulkan tiga kali lipat pendanaan untuk satu program rudal yang digerakkan AI tahun depan menjadi USD83 juta. Anggaran USD83 juta, menurut laporan Reuters, tampak seperti jumlah yang sederhana. Sebab, anggaran itu hanya mendanai salah satu dari banyak program "hush-hush", dan mewakili minat Washington yang semakin meningkat dalam teknologi AI untuk militer.

Namun, tidak semua orang seperti "gung-ho" tentang pengembangan militer AI. Awal pekan ini, Google membatalkan kontrak AI yang kontroversial dengan Pentagon setelah menerima reaksi dari karyawannya. Dalam sebuah surat kepada manajemen, 3.000 staf Google mengatakan bahwa perusahaan "tidak boleh terlibat dalam bisnis perang". Para karyawan menyatakan bekerja dengan militer bertentangan dengan etos raksasa internet tersebut, yakni "Jangan berbuat jahat".

Di bawah kontrak, Google dan Departemen Pertahanan bekerja sama dalam "Project Maven", program AI yang akan meningkatkan penargetan serangan pesawat tak berawak. Program ini akan menganalisis rekaman video dari drone, melacak objek di tanah, dan mempelajari gerakan mereka, serta menerapkan teknik pembelajaran mesin.

Para aktivis kampanye anti-drone dan aktivis hak asasi manusia mengeluh bahwa "Project Maven" akan membuka jalan bagi AI untuk menentukan targetnya sendiri, menghapus sepenuhnya manusia dari "rantai pembunuhan".

Ada risiko lain juga. Mengembangkan teknologi AI dapat memprovokasi perlombaan senjata dengan Rusia atau China. Teknologi ini juga masih dalam tahap awal, dan bisa membuat kesalahan. Jenderal Angkatan Udara AS John Hyten, komandan tertinggi pasukan nuklir AS, mengatakan bahwa begitu sistem tersebut beroperasi, perlindungan manusia masih akan diperlukan untuk mengendalikan "eskalasi-eskalasi", proses di mana rudal nuklir diluncurkan.

“(Kecerdasan buatan) dapat memaksa Anda ke tangga itu jika Anda tidak menempatkan pengamanannya,” kata Hyten dalam sebuah wawancara. "Begitu Anda melakukannya, maka semuanya mulai bergerak."

Bahaya yang melekat dalam memungkinkan AI untuk membuat keputusan hidup atau mati disorot oleh sebuah studi MIT yang menemukan jaringan syaraf AI dapat dengan mudah tertipu dengan berpikir bahwa kura-kura plastik sebenarnya adalah senapan. Hacker secara teoritis dapat mengeksploitasi kerentanan ini, dan memaksa sistem rudal yang digerakkan AI untuk menyerang target yang salah.

Terlepas dari potensi "biaya" kesalahan manusia, Pentagon mendesak maju dengan penelitiannya. Beberapa pejabat yang diwawancarai oleh Reuters percaya bahwa elemen dari program rudal AI bisa beoperasional pada awal 2020-an. Yang lain percaya bahwa pemerintah tidak cukup berinvestasi.

"Orang-orang Rusia dan China pasti mengejar hal-hal semacam ini," kata Mac Thornberry, Ketua Komite Layanan Bersenjata Parlemen dari Partai Republik kepada Reuters, yang dilansir Rabu (6/6/2018). "Mungkin dengan upaya yang lebih besar dalam beberapa hal daripada yang kita miliki." 






Credit  sindonews.com