Kamis, 28 Juni 2018

Myanmar Pecat Jenderal yang Pimpin Operasi Terhadap Rohingya




Myanmar Pecat Jenderal yang Pimpin Operasi Terhadap Rohingya
Myanmar memecat jenderal yang memimpin operasi terhadap Rohingya. Foto/Istimewa



NAYPYIDAW - Myanmar memecat seorang jenderal yang diduga telam memimpin operasi brutal terhadap Muslim Rohingya tahun lalu. Pemecatan ini dilakukan di bawah tekanan dari Kanada dan Uni Eropa (UE).

Militer Myanmar mengumumkan telah memecat Mayor Jenderal Maung Maung Soe. Meski begitu, militer Myanmar memecat Soe bukan untuk alasan operasi terhadap Muslim Rohingya namun atas kelalaian.

"Soe menunjukkan kelemahan dalam menghadapi serangan militan terhadap pos-pos polisi di negara bagian Rakhine barat pada tahun 2016 dan 2017," demikian pernyataan dari kantor komando dinas layanan pertahanan, Min Aung Hlaing, seperti dikutip dari Washington Post, Selasa (26/6/2018).

Menurut pernyataan dari kantor panglima tertinggi Myanmar, Maung Maung Soe gagal menanggapi serangan teroris yang diluncurkan pada Oktober 2016 dan Agustus 2017 oleh Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). ARSA adalah kelompok militan yang pertama kali muncul dua tahun lalu yang berjuang atas nama kaum Rohingya yang terpinggirkan.

Pernyataan itu mencatat bahwa militer tidak menemukan kesalahan apa pun terhadap jenderal itu ketika ia melakukan tugas-tugas normalnya. Tetapi selama serangan itu ia menunjukkan kekurangan dalam merespon tepat waktu terhadap peringatan dini penggunaan kekerasan dan tindakan tanpa hukum oleh ARSA.

Meski begitu, pengumuman ini disambut negatif oleh kelompok hak asasi manusia. Mereka menginginkan sanksi ditambah dengan tindakan oleh Mahkamah Pidana Internasional untuk mengakhiri impunitas jangka panjang bagi militer Myanmar. Pengadilan pekan lalu memberi Myanmar waktu hingga 27 Juli untuk menanggapi permintaan penuntutan bahwa mereka mempertimbangkan untuk mendengarkan kasus dugaan deportasi Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh.

"Pengunduran diri ini - disengaja atau dipaksakan - tidak mewakili pertanggungjawaban nyata atas kekejaman yang dilakukan oleh tentara dan pasukan keamanan yang diperintahkan, dalam hal ini, oleh Maung Maung Soe atau Aung Kyaw Zaw," kata Richard Weir, peneliti Myanmar untuk Human Rights Watch.

"Selain itu, belum ada pengakuan bahwa orang-orang ini bertanggung jawab atas kekejaman yang dilakukan oleh pasukan di bawah mereka, dengan tindakan kelalaian atau perintah langsung," sambung Weir.

“Para korban kekejaman ini layak mendapatkan jawaban dan mereka berhak mendapatkan beberapa ukuran keadilan. Mereka layak meminta orang-orang ini bertanggung jawab, bukan pensiun yang enak,” tukasnya.

Keputusan itu datang tak lama setelah UE dan Kanada mengumumkan sanksi terhadap Maung Maung Soe dan enam perwira militer serta perwira polisi di Myanmar. Kanada dan UE membekukan aset dan memberlakukan larang bepergian kepada ketujuh perwira tersebut yang terdiri dari lima jenderal militer, seorang jenderal perbatasan, dan seorang komanda polisi.

Kanada sebelumnya memberi sanksi kepada Maung Maung Soe pada bulan Februari di bawah tindakan yang berbeda. Pernyataan militer Myanmar tidak menyebutkan sanksi.

“Kanada dan komunitas internasional tidak dapat diam. Ini adalah pembersihan etnis. Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan," kata Menteri Luar Negeri Kanada Chrystia Freeland.

Militer Myanmar telah mempertahankan bahwa apa yang mereka sebut sebagai "operasi pembebasan" sebagai respons yang sah terhadap serangan Agustus lalu. Pernyataan ini sebagian besar telah dianut oleh pemerintah sipil Aung San Suu Kyi dan sejumlah besar orang Myanmar. 

Etnis Rohingya sangat diremehkan di Myanmar, di mana mereka dipandang sebagai imigran gelap. Kampanye ini mendukung popularitas militer, yang mundur dari pemerintahan langsung negara itu pada tahun 2011.



Credit  sindonews.com