TEL AVIV
- Pejabat di industri pariwisata Israel memprotes keputusan yang
melarang wisatawan asal Indonesia memasuki negara itu. Larangan yang
dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Israel ini adalah aksi balasan
terhadap sikap Indonesia yang melarang wisatawan asal Israel.
Bulan lalu, Indonesia mengatakan tidak akan lagi mengeluarkan visa bagi warga Israel dalam kelompok wisata. Keputusan ini sebagai aksi protes atas tindakan IDF, pasukan keamanan Israel, yang menewaskan lebih dari 110 warga Palestina di perbatasan Gaza.
Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim, sendiri tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Keputusan Israel, yang diumumkan pada akhir Mei, dikatakan membahayakan industri yang melihat sekitar 30.000 peziarah Kristen Indonesia mengunjungi negara itu setiap tahun dengan rata-rata menginap selama lima malam.
Larangan itu dimaksudkan hanya berlaku pada hari Sabtu, tetapi telah didorong hingga 26 Juni, The Marker melaporkan pada Kamis. Langkah itu berarti sekitar 2.200 orang Indonesia yang dijadwalkan mengunjungi negara Yahudi itu dalam beberapa minggu ke depan dipaksa untuk membatalkan perjalanan mereka, menurut laporan itu.
Tapi Yossi Fatael, kepala Asosiasi Operator Tur Israel, sementara menyambut penundaan itu, mengatakan keputusan harus dibalik sama sekali.
Fatael mengirim sepucuk surat minggu ini kepada Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Yuval Rotem dan Menteri Pariwisata Yariv Levin meminta untuk mengadakan pertemuan penting atas konsekuensi dari langkah itu.
“Kami menyerukan kepada Kementerian Luar Negeri untuk mempertimbangkan kembali pendiriannya, yang dianggap oleh rekan-rekan kami di seluruh dunia sebagai tidak proporsional, berlebihan dan berbahaya bagi institusi Kristen secara keseluruhan - dan tidak hanya wisatawan dari Indonesia,” tulis Fatael seperti dikutip dari Times of Israel, Jumat (8/6/2018).
Ia menyoroti konsekuensi keuangan yang tak tertahankan bagi biro perjalanan Israel, hotel, perusahaan bus, pemandu wisata, dan lain-lain.
Sana Srouji, yang mengelola perusahaan Perjalanan Keabadian di Yerusalem, dikutip oleh The Marker mengatakan keputusan itu akan menghukum agennya, serta sepuluh agen lain, dengan kebangkrutan karena 70 persen dari pendapatan mereka berasal dari wisatawan Indonesia.
"Mereka adalah pecinta Israel yang ingin berkunjung dan juga menyumbang banyak uang," katanya.
"Ini adalah turis yang sudah membeli tiket pesawat, dan sekarang akan dipaksa untuk membatalkan semuanya tanpa kompensasi," imbuhnya.
Ia mengatakan mereka akan tetap tinggal di negara-negara tetangga Arab dan Muslim seperti Mesir, Yordania dan Turki, karena mereka biasanya masuk ke Israel melalui perbatasan darat setelah mengunjungi negara-negara tersebut.
Bulan lalu, Indonesia mengatakan tidak akan lagi mengeluarkan visa bagi warga Israel dalam kelompok wisata. Keputusan ini sebagai aksi protes atas tindakan IDF, pasukan keamanan Israel, yang menewaskan lebih dari 110 warga Palestina di perbatasan Gaza.
Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim, sendiri tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Keputusan Israel, yang diumumkan pada akhir Mei, dikatakan membahayakan industri yang melihat sekitar 30.000 peziarah Kristen Indonesia mengunjungi negara itu setiap tahun dengan rata-rata menginap selama lima malam.
Larangan itu dimaksudkan hanya berlaku pada hari Sabtu, tetapi telah didorong hingga 26 Juni, The Marker melaporkan pada Kamis. Langkah itu berarti sekitar 2.200 orang Indonesia yang dijadwalkan mengunjungi negara Yahudi itu dalam beberapa minggu ke depan dipaksa untuk membatalkan perjalanan mereka, menurut laporan itu.
Tapi Yossi Fatael, kepala Asosiasi Operator Tur Israel, sementara menyambut penundaan itu, mengatakan keputusan harus dibalik sama sekali.
Fatael mengirim sepucuk surat minggu ini kepada Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Yuval Rotem dan Menteri Pariwisata Yariv Levin meminta untuk mengadakan pertemuan penting atas konsekuensi dari langkah itu.
“Kami menyerukan kepada Kementerian Luar Negeri untuk mempertimbangkan kembali pendiriannya, yang dianggap oleh rekan-rekan kami di seluruh dunia sebagai tidak proporsional, berlebihan dan berbahaya bagi institusi Kristen secara keseluruhan - dan tidak hanya wisatawan dari Indonesia,” tulis Fatael seperti dikutip dari Times of Israel, Jumat (8/6/2018).
Ia menyoroti konsekuensi keuangan yang tak tertahankan bagi biro perjalanan Israel, hotel, perusahaan bus, pemandu wisata, dan lain-lain.
Sana Srouji, yang mengelola perusahaan Perjalanan Keabadian di Yerusalem, dikutip oleh The Marker mengatakan keputusan itu akan menghukum agennya, serta sepuluh agen lain, dengan kebangkrutan karena 70 persen dari pendapatan mereka berasal dari wisatawan Indonesia.
"Mereka adalah pecinta Israel yang ingin berkunjung dan juga menyumbang banyak uang," katanya.
"Ini adalah turis yang sudah membeli tiket pesawat, dan sekarang akan dipaksa untuk membatalkan semuanya tanpa kompensasi," imbuhnya.
Ia mengatakan mereka akan tetap tinggal di negara-negara tetangga Arab dan Muslim seperti Mesir, Yordania dan Turki, karena mereka biasanya masuk ke Israel melalui perbatasan darat setelah mengunjungi negara-negara tersebut.
Srouji mengatakan langkah itu juga akan merugikan pemandu wisata dan pekerja pariwisata lainnya yang telah belajar bahasa Indonesia.
"Saya membimbing peziarah Kristen, beberapa Protestan dan beberapa Katolik, yang juga tertarik pada Yudaisme," kata Annabelle Herziger-Tenzer, salah satu dari 34 pemandu wisata Israel yang berbicara bahasa Indonesia.
Herziger-Tenzer mengatakan bahwa setiap bulan, sembilan bulan dalam setahun, ia menyelenggarakan tiga kelompok dengan masing-masing 35 orang.
Ia menambahkan bahwa sebagian besar kelompok membeli bendera Israel dan mengambil foto kebanggaan dengan tentara IDF.
“Saya sangat berharap Israel akan sadar dan membiarkan orang Indonesia masuk,” harapnya.
"Setiap kali ada kekacauan di Gaza, mereka menghukum pecinta Kristen Israel di Indonesia, dan sekarang mereka melecehkan mereka dengan mencegah masuknya mereka ke Israel," tukasnya.
Menteri Pariwisata Yariv Levin mengatakan keputusan Kementerian Luar Negeri salah dan menyerukannya untuk dikembalikan secepat mungkin, menurut laporan itu.
Tetapi Kementerian Luar Negeri bersikukuh dan membenarkan tindakannya, hanya berkomentar bahwa masalah dimulai dengan keputusan Indonesia untuk tidak memberikan visa kepada warga Israel.
Credit sindonews.com