WASHINGTON
- Sebuah laporan mengungkapkan bahwa Korea Utara (Korut) hampir memicu
perang nuklir setelah negara itu berhasil menangkap sebuah kapal
mata-mata Amerika Serikat (AS). Tentara Korut juga menangkap dan
menyiksa awak kapal dan meninggalkan ketakutan terhadap kelangsungan
hidup mereka.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1968 lalu. Saat itu kapal mata-mata AS, USS Pueblo, yang dikomandoi Lloyd Bucher ditangkap oleh kapal Angkatan Laut Korut di dekat perairan internasional.
Seperti disitir dari Express.co.uk, Senin (22/1/2018), sehari sebelum Pueblo ditangkap pada 22 Januari 1968, kapal tersebut mengadakan pertemuan pertamanya dengan warga Korut saat dua kapal nelayan yang dipenuhi penduduk setempat datang untuk melihat kapal AS tersebut.
Namun, pada tanggal 23 Januari sekelompok kapal dari daratan Korut mencegat USS Pueblo. USS Pueblo berhadapan dengan kapal subchaser bersenjata berat serta empat kapal torpedo dan diperintahkan untuk berhenti atau menghadapi moncong senjata Korut.
Para pelaut memberi isyarat bahwa mereka berada di perairan internasional saat mengirim permintaan keras untuk meminta bantuan komando angkatan laut di Jepang.
Operator radio Don Bailey mengirim pesan panik ke pelabuhan Kamiseya di Jepang saat kapal-kapal Korut mengelilingi USS Pueblo, sebuah kapal mata-mata AS.
"Kami butuh bantuan. Kami menahan kehancuran darurat. Kami butuh dukungan. SOS. Silakan kirim bantuan," begitu bunyi pesan tersebut
Ketika tentara Korut mencoba naik ke atas kapal, USS Pueblo melarikan diri dari tempat kejadian dengan kecepatan penuh. Kapal AS itu pun dihujani tembakan senapan mesin dan roket 57mm saat berusaha menyelamatkan diri dengan berlayar ke perairan internasional, sementara awak kapal membakar sejumlah dokumen rahasia.
Setelah mendapatkan sejumlah tembakan, komandan Lloyd Bucher memerintahkan Don Bailey untuk mengirim pesan kepada orang-orang Korea.
"Telah diminta untuk mengikuti Wonsan, ada tiga orang yang terluka dan satu orang dengan kaki hancur, belum menggunakan senjata apapun," kata Bailey.
"Bagaimana dengan bantuan, orang-orang sedang bertugas. Jangan bermaksud menawarkan perlawanan," tukasnya.
Selanjutnya, rangkaian peristiwa penangkapan kapal mata-mata ini nyaris memicu perang nuklir.
Sementara awak kapal yang ditangkap mengalami perlakukan mengerikan, para pemimpin militer AS menyusun rencana untuk melakukan perang nuklir di Semenanjung Korea.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1968 lalu. Saat itu kapal mata-mata AS, USS Pueblo, yang dikomandoi Lloyd Bucher ditangkap oleh kapal Angkatan Laut Korut di dekat perairan internasional.
Seperti disitir dari Express.co.uk, Senin (22/1/2018), sehari sebelum Pueblo ditangkap pada 22 Januari 1968, kapal tersebut mengadakan pertemuan pertamanya dengan warga Korut saat dua kapal nelayan yang dipenuhi penduduk setempat datang untuk melihat kapal AS tersebut.
Namun, pada tanggal 23 Januari sekelompok kapal dari daratan Korut mencegat USS Pueblo. USS Pueblo berhadapan dengan kapal subchaser bersenjata berat serta empat kapal torpedo dan diperintahkan untuk berhenti atau menghadapi moncong senjata Korut.
Para pelaut memberi isyarat bahwa mereka berada di perairan internasional saat mengirim permintaan keras untuk meminta bantuan komando angkatan laut di Jepang.
Operator radio Don Bailey mengirim pesan panik ke pelabuhan Kamiseya di Jepang saat kapal-kapal Korut mengelilingi USS Pueblo, sebuah kapal mata-mata AS.
"Kami butuh bantuan. Kami menahan kehancuran darurat. Kami butuh dukungan. SOS. Silakan kirim bantuan," begitu bunyi pesan tersebut
Ketika tentara Korut mencoba naik ke atas kapal, USS Pueblo melarikan diri dari tempat kejadian dengan kecepatan penuh. Kapal AS itu pun dihujani tembakan senapan mesin dan roket 57mm saat berusaha menyelamatkan diri dengan berlayar ke perairan internasional, sementara awak kapal membakar sejumlah dokumen rahasia.
Setelah mendapatkan sejumlah tembakan, komandan Lloyd Bucher memerintahkan Don Bailey untuk mengirim pesan kepada orang-orang Korea.
"Telah diminta untuk mengikuti Wonsan, ada tiga orang yang terluka dan satu orang dengan kaki hancur, belum menggunakan senjata apapun," kata Bailey.
"Bagaimana dengan bantuan, orang-orang sedang bertugas. Jangan bermaksud menawarkan perlawanan," tukasnya.
Selanjutnya, rangkaian peristiwa penangkapan kapal mata-mata ini nyaris memicu perang nuklir.
Sementara awak kapal yang ditangkap mengalami perlakukan mengerikan, para pemimpin militer AS menyusun rencana untuk melakukan perang nuklir di Semenanjung Korea.
Catatan sejarah mengungkapkan pasukan AS memperingatkan sekutu mereka di Seoul untuk tidak meningkatkan situasi dan membahayakan awak kapal saat Washington diam-diam mempersiapkan aksi militer.
Sebuah bundel berisi 12 tanggapan militer diciptakan oleh Angkatan Darat AS jika solusi damai tidak dapat ditemukan.
Awak kapal yang menjadi sasaran penyiksaan, dibiarkan tetap dalam kondisi yang kotor dan dipaksa untuk menandatangani serangkaian pengakuan, yang masing-masing pengakuan berubah menjadi lebih konyol, seperti dilaporkan oleh awak kapal yang selamat.
Menurut catatan itu, AS mempersiapkan nuklir sebagai aksi balasan jika tindakan Korut meningkat menjadi invasi ke Korea Selatan (Korsel). Salah satu hasil persiapan mengerikan yang nyaris dihindari bernama Freedom Drop.
Rencana itu akan memusnahkan tentara Korut yang bergerak maju untuk melakukan invasi dengan senjata nuklir yang dijatuhkan dari pesawat terbang dan rudal nuklir yang menyerang sasaran utama di negara tersebut.
Presiden AS saat itu, Lyndon Johnson menolak seruan untuk menyerang dan malah memilih untuk menunjukkan kekuatan militer yang mengesankan. Ia memerintahkan ratusan pesawat tempur dan kapal, termasuk tiga kapal induk ke Korsel.
"Begitu AS melakukan tindakan pembalasan yang melibatkan penggunaan kekuatan militer terhadap Korea Utara kemungkinan untuk mendapatkan pembebasan kru dan kapal hampir pasti musnah," bunyi sebuah memo rahasia yang dirilis.
"Selain itu, aksi balasan mungkin akan membawa China dan Soviet turut langsung ke dalam situasi risiko krisis yang lebih besar dan permusuhan aktual akan meningkat," sambung memo rahasia itu.
Setelah menjalani perlakuan yang mengerikan termasuk pura-pura eksekusi dan pemukulan rutin, banyak pelaut berharap untuk mati di Korut.
Pembicaraan pun digelar di zona demiliterisasi (DMZ) yang dijaga dengan ketat di dekat perbatasan Korut. AS datang dengan tekad untuk membebaskan prajuritnya.
"Perundingan tersebut membutuhkan waktu berbulan-bulan dimana penyiksaan terus berlanjut dan elemen di Washington terus menekan serangan militer," kata laporan tersebut.
Sebuah memo Gedung Putih menunjukkan bahwa sekitar sembilan bulan setelah kapal mata-mata tersebut ditangkap, perundingan panjang telah mencapai "jalan buntu" dengan AS enggan kehilangan muka dan menandatangani permintaan maaf.
Korut memaksa kru kapal untuk mengambil bagian dalam sebuah konferensi pers dimana komandan Lloyd Bucher meminta AS untuk melakukan sesuatu guna menyelamatkan nyawa para pemuda ini
Washington akhirnya mengundurkan diri dan menandatangani permintaan maaf dengan syarat bahwa mereka diizinkan untuk mengeluarkan sebuah pernyataan sebelum tangan dan saat pembebasan dan perang skala penuh telah dihindari.
Saat ini kapal UUS Pueblo menjadi objek wisata di Pyongyang dimana digunakan untuk alat propaganda.
Credit sindonews.com